Pulang by
Leila S. Chudori
My rating:
5 of 5 stars
"Bagaimana
caranya memetik Indonesia dari kata I.N.D.O.N.E.S.I.A ?"
Disaat meletusnya peristiwa 30 September 1965, Dimas Suryo berada di Chili menggantikan Hananto Prawiro untuk
menghadiri konferensi wartawan internasional. Kondisi di Jakarta mencekam. Segala sesuatu yang berhubungan dengan partai komunis (anggota partai, simpatisan dan keluarga) diamankan. Kantor
Berita Nusantara yang dekat dengan partai komunis kiri tak luput digulung tentara. Sebelum terjadi
peristiwa 30 September, meja redaksi Kantor
Berita Nusantara terbelah menjadi dua kubu. Kubu pengagum PKI dan kubu yang
gerah dengan segala sesuatu yang berbau kiri. Dimas tidak menetapkan
pilihannya di kubu mana pun. Ia mempunyai pemahaman ideologi sendiri. Dimas berkawan dekat dengan Hananto Prawiro dan Nugroho yang
'kiri' tapi juga sering berdiskusi dengan yang mempunyai pandangan kebalikan
seperti Bang Amir.
Dimas, Nugroho
dan Risjaf sangat cemas di luar negeri karena komunikasi ke Indonesia sangat
sulit dilakukan. Hananto Prawiro termasuk dalam daftar orang yang dicari. Tentara menginterogasi Surti Anandari, istrinya, bersama ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Paspor Dimas, Nugroho, dan Risjaf dicabut yang seketika membuat mereka hilang
kewarganegaraan dan tanpa identitas. Mereka terlunta-lunta di negeri
orang. Pintu pulang ke rumah tertutup. Dari Santiago, Havana, dan Peking,
Perjalanan Dimas bersama ketiga temannya, Nugroho, dan Risjaf berakhir di
Paris, Perancis. Tjai menyusul kemudian,sebelumnya ia berhasil menyelamatkan
diri ke Singapura.
Le coup de
foudre,cinta pada pandangan pertama. Demikian lah Vivienne Deveraux
menggambarkan pertemuannya dengan Dimas di tengah unjuk rasa mahasiswa Paris
1968. Dimas menikah dengan Vivienne. Bersama ketiga sahabatnya, Dimas mendirikan
restoran masakan Indonesia yang diberi nama ‘Restoran Tanah Air’. Dimas,
Nugroho,Tjai dan Risjaf dikenal dengan empat pilar tanah air. Walaupun Dimas sudah
menikah dengan wanita perancis dan dikaruniai seorang putri bernama Lintang
Utara, ia tidak merasa Paris telah menjadi rumah baginya. Hatinya tetap terpaut
dengan tanah kelahirannya yang jauh. Aroma Indonesia hadir dalam bentuk toples
cengkeh dan kunyit di rumah Dimas.
Lintang Utara mendapatkan tugas akhir untuk
membuat film dokumenter. Awalnya Lintang ingin menyorot kehidupan imigran
aljazair di Perancis. Dosennya, Monsiuer Dupont,menyarankan Lintang untuk
melihat ke dalam dirinya dan lebih menggali akarnya, Indonesia. Bagi Lintang,
Indonesia tanah air ayahnya hanya dikenal dari buku-buku ayah dan cerita dari ayah
dan Om-om restoran tanah air yang terhenti di tahun 1965. Lintang memutuskan untuk mengunjungi Indonesia.
"Katakan, apakah sebuah pohon yang sudah tegak dan batang rantingnya menggapai langit kini harus merunduk,mencari-cari akarnya untuk sebuah nama? Untuk sebuah identitas?".
(Lintang Utara @ Pemakaman Pere-Lachaise)
Tahun 1998 Situasi Indonesia sedang tidak stabil
secara ekonomi dan politik. Mahasiswa turun ke jalan dan menuntut penguasa orde
baru mundur sebagai presiden Indonesia. Lintang mulai membuat filmnya dengan
dibantu oleh Segara Alam. Ternyata melakukan wawancara mantan tahanan politik atau keluarganya
tidak lah mudah. Banyak yang masih takut untuk menyuarakan ketidakadilan yang
mereka alami selama bertahun-tahun. Salah satu narasumber yang berani
berkomentar adalah Surti Anandari, ibu dari Segara Alam. Pasca peristiwa 30
September 1965, Surti diinterogasi berkaitan dengan kegiatan suaminya, Hananto
Prawiro. Karena tugas film dokumenternya ia sempat diincar oleh 'lalat - lalat'
intel. Tensi politik semakin tinggi dan kerusuhan mulai menyebar di Jakarta.
Dimas mencoba mengunjungi Indonesia dengan paspor
Perancis yang didapatkannya dari suaka politik. Dari mereka berempat hanya
Risjaf yang mendapat kesempatan berkunjung ke Indonesia. Entah apa sebabnya. Berkali-kali
mencoba,Dimas tetap tidak mendapatkan visa ke Indonesia. Boleh saja ia ditolak
oleh pemerintah Indonesia tetapi ia tidak ditolak oleh tanah airnya. Dimas Suryo hanya ingin kembali ke rumah. "Aku ingin pulang ke
rumahku, Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau, bangun tubuh, dan jiwaku. Aku
ingin pulang ke Karet".
Novel ini mengambil latar belakang tiga peristiwa
bersejarah yaitu peristiwa 30 September 1965, aksi mahasiswa perancis Mei 1968,
dan jatuhnya pemerintahan orde baru 1998. Tema sejarah yang diangkat tidak lah ringan tetapi Leila S Chudori menuliskannya dengan bahasa yang mengalir sehingga enak dibaca. Ketika saya pertama kali membaca sinopsis 'Pulang',saya langsung teringat dengan restoran Indonesia yang di Paris. Ternyata memang kisah dari Umar Said (Alm), Sobron Aidit (Alm), Kusni Sulang sebagai eksil politik menjadi salah satu inspirasi novel ini.
Soft Launching novel 'Pulang' di Festival Pembaca Indonesia 2012
Emosi campur aduk ketika membacanya. Peliknya kehidupan empat pilar tanah air sebagai eksil politik di Paris diselingi kisah keseharian mereka yang kadang-kadang menghibur. Selain persoalan politik,terdapat konflik keluarga dan percintaan tokoh-tokohnya. Setting yang diambil di Paris bukan lah ikon kota yang terkenal seperti Menara Eiffel tetapi Pemakaman Pere-Lachaise, pemakaman sastrawan-sastrawan dunia. Dimas dan Lintang sering mengunjungi pemakaman ini dan menjadi tempat favorit Lintang untuk menyendiri.
'Pulang' hadir berdekatan dengan 'Amba' yang ditulis Laksmi Pamuntjak yang keduanya telah saya baca. Dengan tema yang kurang lebih sama, masing-masing cerita mempunyai kekuatan sendiri. Jika ditanya mana kah yang lebih disukai, saya akan memilih 'Pulang'. Satu lagi yang saya sukai dari novel ini dan
patut dikasih jempol adalah ilustrasinya. Keren!