Pages

Saturday, July 27, 2013

Sudah, biar saja...


Judul : Sudah, biar saja …..
Penulis : Paula Gomez
Penerjemah : Chalid Arifin
Penerbit : Djambatan
Tahun Terbit : 1975


Orang Indonesia dapat mengatakan pada orang Belanda bahwa mereka harus berangkat, lalu orang Belanda seharusnya musti pergi. Kemudian bisa diadakan pesta perpisahan di setiap kampung disertai alunan gamelan siang dan malam, penuh gairah dan murung sekaligus, diselingi sambutan-sambutan oleh orang Indonesia yang seyogianya menyebutkan apa yang baik yang telah dilakukan orang Belanda dan apa yang salah.

Kedatangan Jepang ke Indonesia membuat kehidupan tokoh ‘aku’ berubah drastis. Ayahnya yang Belanda totok ditangkap oleh Jepang. Kekejaman tentara Jepang sudah tersiar.   Tidak ada yang tahu bagaimana nasib Ayahnya kemudian. Masa tersebut adalah masa susah. Mereka sudah tidak punya apa-apa dan untuk makan saja susah. Cepat atau lambat Aku dan Ibunya akan dimasukkan ke kamp bersama wanita-wanita eropa lainnya.  Status Belanda-Indo sedikit banyak membantu mereka dibandingkan yang Belanda totok.  Aku berhasil bertahan hingga Jepang kalah sementara Ibunya meninggal dunia di kamp.

Tuesday, July 16, 2013

A Thousand Splendid Suns


Judul : A Thousand Splendid Suns
Pengarang : Khaled Hosseini
Penerjemah : Berliani M.Nugrahani
Penerbit : Qanita
Tahun Terbit : 2010

“One could not count the moons that shimmer on her roofs,
Or the thousand splendid suns that hide behind her walls.” (Saib e Tabrizi)

Mariam

Harami, kata yang selalu membayangi hidup Mariam. Mariam lahir diluar pernikahan dari seorang terpandang di kota Herat ,Jalil Khan, dengan pembantunya. Mariam dan Nana , Ibunya, hidup di gubuk kecil atas bukit. Setiap Kamis Jalil mengunjungi mereka dan membawa cerita hal-hal yang menarik di luar kehidupan Mariam.  Pendidikan yang ia dapatkan hanya sebatas membaca iqra dari Mullah. Setelah ayahnya pulang, Nana akan bercerita macam-macam, mengolok-olok keluarga ayahnya, terkadang sampai menyumpah-nyumpahi Mariam. Suatu hari Mariam meninggalkan rumahnya pergi ke Herat menemui Jalil.  Ketika Mariam kembali ke rumah,Nananya sudah tewas gantung diri. Belum sirna duka Mariam, ia nikahkan dengan Rasheed,seorang duda yang merupakan rekan bisnis ayahnya yang mempunyai toko sepatu di Kabul. Umurnya baru 15 tahun.

Laila

Laila lahir pada malam kudeta April 1978 ketika komunis mengambil alih Afghanistan. Di sekolah Ia dijuluki Gadis Revolusi oleh gurunya Khala Rangmaal. Laila sering bermain dan bersahabat dengan Tariq. Sewaktu kecil Tariq terkena ranjau darat sehingga kakinya digantikan dengan kaki palsu. Kedua saudara laki-lakinya Ahmad dan Noor bergabung dengan pasukan Komandan Ahmad Shah Massoud untuk berjihad. Mamy Laila sangat mengidolakan kedua putranya hingga Laila terabaikan. Hubungan persahabatan Laila dan Tariq yang dimulai dari mereka kecil menjadi cinta sejati. Mereka semakin dewasa dan kedekatan mereka sudah tidak bisa dianggap seperti kanak-kanak remaja.

Sementara itu penguasa Afghanistan silih berganti. Selepas rezim komunis tumbang,pasukan Mujahidin yang mengambil alih pemerintahan. Pasukan ini terdiri dari beberapa suku yaitu Uzbek, Tajik, Pashtun, dan Hazara. Pertikaan antara suku-suku tersebut mengancam Afghanistan di ambang perang saudara.

'Laila, sayangku, satu-satunya musuh yang tidak bisa dikalahkan oleh bangsa Afghan adalah dirinya sendiri.'

Lalu kekuasaan Mujahidin pun berganti dengan Taliban, kebijakan pun berganti.  Perempuan diwajibkan mengenakan burqa. Tidak ada sekolah buat anak perempuan. Terjadi eksodus penduduk Afganistan meninggalkan tanah airnya.  Keluarga teman-teman Laila sudah mulai mengungsi ke negara tetangga. Mammy Laila awalnya bersikeras untuk tetap tinggal.

Garis hidup keduanya, Mariam dan Laila, bertemu ketika roket menghantam rumah Laila yang membuatnya luka parah dan yatim piatu. Rasheed menolong Laila dan memberikan perawatan di rumahnya. Kebaikan pria ini mempunyai maksud terselubung. Rasheed menjadikan Laila sebagai istri kedua. Laila tidak mempunyai pilihan. Ia sebatang kara sementara Tariq yang dicintainya tidak diketahui keberadaannya. Hubungan Mariam dan Laila tegang walaupun Laila terpaksa menikah dengan Rasheed, Mariam merasa Laila telah mengambil suaminya. Lebih-lebih saat Laila hamil perhatian Rasheed hanya tertuju untuknya. Mariam semakin tersisihkan. Laila melahirkan anak perempuan yang dinamakan Aziza. Seketika Rasheed berubah, ia sangat mengharapkan anak laki-laki. Ada kecurigaan Aziza bukan darah daging dari Rasheed. Rasheed sangat ringan tangan pada Mariam.  Laila pun tak luput dari penganiayaan Rasheed. Mariam dan Laila sempat melarikan diri namun tertangkap oleh petugas perbatasan. Mereka dipulangkan ke rumah dan mendapatkan siksaan yang hebat.


A thousand splendid suns menghadirkan kisah hidup dua wanita Afghanistan yang tidak hanya menderita karena keadaan negara tetapi juga perlakuan suami mereka. Afghanistan mempunyai sejarah panjang pergolakan kekuasaan berdarah. Tak terhitung korban jiwa dan berapa banyak keluarga yang tercerai berai karena perang.  Saya sudah jatuh hati dengan karya Khaled Hosseini sejak membaca The Kite Runner. Jeda waktu antara saat terakhir baca Kite Runner sama A Thousand Splendid Suns sangat lama. A Thousand Splendid Suns sudah lama jadi wishlist dan baru beberapa minggu yang lalu saya bisa memiliki dan membacanya. Kedua karya Khaled Hosseini dengan latar belakang negara kelahirannya Afghanistan kaya dengan cerita yang inspiratif. Keduanya juga sama-sama membuat saya terharu. Saya tidak sabar membaca novel baru Khaled Hosseini, And The Mountain Echoed. 

Monday, July 15, 2013

Memang Jodoh


Judul : Memang Jodoh
Penulis : Marah Rusli
Penerbit : Qanita
Tahun Terbit : 2013


Selepas lulus dari Sekolah Rakyat di Bukittinggi, Hamli akan melanjutkan studi di Belanda. Ayahandanya, Sutan Bendahara dan Mamaknya, Baginda Raja mengusahakan Hamli berangkat ke Belanda. Ibu Hamli, Siti  Anjani, melarang anaknya ke Belanda. Pikirannya Hamli akan terpikat dengan gadis barat mendorongnya tidak mengijinkan anak laki-laki semata wayangnya merantau ke benua Eropa. Daripada jauh-jauh ke Belanda, Hamli diusulkan menuntun ilmu ke pulau Jawa saja yang lebih dekat dari rumah. 

Hamli mempunyai darah bangsawan Padang. Dari pihak ayahnya yang masih famili dari Istana Pagaruyung dan pihak ibunya yang mempunyai darah bangsawan Jawa. Dengan status sosial dan pendidikannya,Hamli adalah calon menantu idaman yang diperebutkan Ibu-ibu di Padang. Pernikahan menurut adat kaummnya merupakan urusan orang tua dan ninik mamaknya. Anak hanya menuruti keinginan dari orang tua dalam hal jodoh. Selain itu, Hamli sudah ditunangkan dengan anak Mamaknya. 

Hamli mempelajari ilmu pertanian di kota Bogor. Ia berangkat ditemani neneknya, Khatidjah, yang sejak kecil menemaninya kemana-mana. Hamli mempunyai penyakit 'pilu' yang membuatnya kadang teramat sedih dan tidak sadar dengan keadaan sekitar. Neneknya khawatir jangan sampai cucu kesayangannya menjadi gila atau lebih parah bunuh diri. Obatnya ada pada Din Wati, seorang wanita Sunda yang menawan hati Hamli. Keduanya saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah.

Pertentangan hubungan keduanya pertama-tama berasal dari keluarga Din Wati. Din Wati berasal dari bangsawan Sunda. Pengalaman keluarganya yang pernah menikah dari pulau seberang membuat mereka tidak mau mengulangi hal yang sama. Pernikahan dilangsungkan secara sederhana. Keluarga Hamli di Padang tidak diberitahu untuk menghindari kegaduhan. 

Sayangnya,berita Hamli menikah dengan Gadis Sunda di Bogor sampai juga ke telinga ibundanya dan membuat heboh ninik mamaknya. Hamli dianggap telah mencoreng arang di kening ninik mamaknya. Apa tidak dianggap lagi Ibu dan Ninik Mamaknya? Ibunda Hamli menghadapi serangan dari keluarganya sendirian. Adiknya Baginda Raja malah memutuskan tali kekeluargaan karena Hamli kemenakan yang ia sekolahkan menikah dengan orang lain bukan dengan anaknya.


"Laki-laki Padang tak diizinkan kawin dengan perempuan yang bukan masuk suku Padang. Dipandang sangat hina apabila seorang laki-laki, lebih-lebih perempuan, kawin dengan orang yang berasal dari daerah lain." - (hal 155) 

Berasal dari daerah dan budaya berbeda membuat rumah tangga Hamli dan Din Wati pun sering diguncang prahara. Hasutan dan fitnah datang dari pihak kedua belah keluarga yang tidak senang yang masing-masing mereka mempunyai kepentingan terhadap Hamli ataupun Din Wati. Seorang Datuk Sati diupah untuk mencelakai Din Wati lewat Gasiang Tangkurak. Belum lagi pinangan agar Hamli mau mengambil istri kedua dari gadis Padang yang selalu datang. Hamli bersikukuh tidak mau memadu Din Wati. Begitupun Din Wati tidak rela dimadu oleh suaminya. Lamaran datang ke Ayahanda Hamli, ditolak. Lalu pinangannya dialihkan ke Ibunda Hamli,ditolak. Hingga bujuk rayu kepada Din Wati agar mau merelakan suaminya menikah kembali. Puncaknya Hamli dibuang secara adat oleh kaumnya. Dibuang secara adat berarti tidak diakui secara tali kekeluargaan, hilang hak atas harta warisan, dan tidak boleh menginjakkan kaki di kampung halaman. 

-------

Marah Rusli adalah penulis dari roman Sitti Nurbaya, sebuah kisah yang jadi legenda tidak hanya untuk daerah Padang tetapi juga Indonesia. Marah Rusli menuliskan roman Sitti Nurbaya sebagai caranya memprotes kekakuan adat Minang. Di kota Padang berdiri jembatan yang diberi nama Jembatan Siti Nurbaya. Marah Rusli dijuluki Bapak Roman Indonesia oleh H.B Jassin. Selain Sitti Nurbaya, karya-karya dari Marah Rusli antara lain 'La Hami' dan 'Anak Kemenakan'. 'Memang Jodoh' merupakan kisah semiautobiografi dari penulis sendiri, Marah Rusli, maka kita kembali ke konteks saat itu yang masih kuat memegang tradisi. Memang betul, jaman dahulu laki-laki minang sangat lazim melakukan poligami. Beristri dua atau tiga menunjukkan kebesaran dari laki-laki. Pandangan Marah Rusli terhadap poligami sangat jelas di 'Memang Jodoh' ini, ia menolak untuk memadu istrinya. Namun seiring dengan jaman mungkin urusan pernikahan Minang sudah tidak sesangklek dahulu.

Namun preferensi pernikahan orang minang dengan orang minang menurut saya masih ada sampai saat ini. Mengapa? Jawabannya terdapat juga dalam novel ini. "Bagaimana jadinya negeri Padang, jika telah ditinggalkan oleh anak-anaknya kelak? Siapa yg akan mengurus negeri dan harta pusaka yang tersimpan itu? Siapa yang akan mengerjakan sawah dan ladang yang terbengkalai? Tidakkah semuanya itu akan jatuh juga ke tangan orang lain apabila tak ada yang mengurus dan memeliharanya?" (hal 172-173). Anak-anak yang merantau dikhawatirkan orang tua tidak kembali ke kampungnya, melupakan orang tua yang ditinggalkan di kampung, melupakan adat istiadatnya. Tidak ada salahnya jika menikah dengan sesama suku Minang namun harus diingat bahwa jodoh tetap lah kuasa yang Illahi. Jodoh tidak bisa dipaksakan, sekeras dan sekuat apapun usaha manusia menalikannya. Jika bukan jodohnya ya tidak akan jadi. Bukankah masing-masing manusia sudah dituliskan siapa jodohnya di Lauh Mahfudz ?