Pages

Wednesday, January 15, 2014

Kepulauan Banda : Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala



Judul : Kepulauan Banda ; Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala

Penulis : Willard A. Hanna


Penerbit : YOI

Tahun Terbit : 1983


Rempah-rempah membawa bangsa Eropa berlomba-lomba berlayar sampai ke sumbernya. Tiga komoditas utama, cengkeh, pala dan fuli serta lada, sangat diperlukan di masa itu. Komoditas tersebut dibawa oleh pedagang Arab dan China ke Eropa. Setelah penaklukan Malaka tahun 1511, Alfonso de Albuquerque terus mencari keberadaan pulau tersebut. Setahun berikutnya Portugis berhasil sampai di pulau Ternate, penghasil cengkeh. Sejarah Banda mulai terperinci mulai tahun 1599, waktu muncul pelaut dan pedagang Belanda yang pertama, Jacob van Heemskerk. Kemudian disusul dengan datangnya orang Inggris pada tahun 1601. 

Penduduk Banda menyambut kedatangan orang-orang asing kulit putih. Pala Banda mempunyai keistimewaan dengan keharumannya yang unik. Keuntungan yang diperoleh pedagang Belanda bisa mencapai 1000 persen. Hasil yang menggiurkan, bukan?. Untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, VOC yang dipimpin oleh Heeren XVII, menambah kapal-kapal ekspedisi ke kepulauan Maluku. Perdagangan barter disepakati setelah orang Belanda memberi hadiah kepada "orang-orang kaya" (kepala kampung atau orang-orang tua). Kongsi dagang Belanda mendapat tantangan dari East India Company (EIC) milik Inggris. Di Banda, Inggris memilih Pulau Run sebagai pangkalan mereka. Kelak pulau ini akan dibarter dengan pulau Manhattan di Amerika Serikat.

Pada tahun 1602, beberapa "orang kaya" setuju menandatangani kontrak yang memberikan hak monopoli yang tidak dapat dibatalkan. Orang-orang Banda lebih menyukai pedagang Jawa, Bugis, Cina dan Arab sebagai mitra dagangnya. Ambisi Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah sudah terlihat jelas. Orang Belanda menetapkan harga yang tidak dapat ditawar, ketidakacuhan terhadap kebiasaan setempat, barang dagangan yang tidak sesuai dan peringatan agar tidak berdagang dengan Inggris.

Laksamana Pieterszoon Verhoeven pada tahun 1608 mendapat tugas dari Heeren XVII. "Kami meminta perhatian Anda khusus terhadap pulau-pulau tempat pohon-pohon cengkeh dan Pala tumbuh dan kami menginstruksikan Anda untuk berjuang memperolehnya demi kompeni baik melalui perjanjian maupun kekerasan". Verhoeven terbunuh dalam ekspedisi tersebut beserta rombongan anak buahnya. Seorang pedagang muda bawahan Verhoeven berhasil menyelamatkan diri. Kelak pedagang muda ini dikenal sebagai penakluk Banda pada tahun 1621, ia bernama Jan Pieterszoon Coen.

Saat Banda dikuasai oleh VOC, lahan Pala diolah oleh perkenier yang merupakan pemegang konsesi. Kebanyakan perkenier asli adalah bekas pegawai kasar VOC, yang sebagian besar adalah petualang, penipu dan penjahat. Perselisihan kerap terjadi antara VOC dengan perkenier mengenai kontrak apakah hak perkenier mendekati hak sewa atau hak milik. Perdagangan Pala mulai mengalami kemunduran pada 1800-an. Selain Pala sudah tumbuh di pulau lain (Jawa dan Sumatera), korupsi yang merajalela di VOC dan faktor sifat perkenier yang bermalas-malasan juga turut berperan. Pembukuan VOC berantakan. Perdagangan ilegal juga kerap terjadi walaupun VOC melakukan inspeksi di darat dan laut.

Pada tahun 1930-an Banda Neira menjadi tempat pembuangan tokoh politik tercatat Dr Tjipto Mangunkusumo, Hatta, dan Sjahrir. Hatta dan Sjahrir mendirikan sekolah informal untuk anak-anak Banda. Mereka memperkenal dunia luar melalui buku-buku bacaan. Sayangnya, Hatta dan Sjahrir tidak mempelajari sejarah Banda dan orang-orang Banda. Mereka tenggelam dalam studi pribadi mereka seperti filsafat Jerman, sastra Perancis, sejarah Inggris dan lain-lainnya.

Memang tidak mencakup semua periode sejarah dari kepulauan Banda. Buku ini lebih banyak mengulas Banda di masa VOC. Mungkin karena sumber-sumber sejarahnya terbatas, tidak dijelaskan ketika masa Portugis atau lebih jauh lagi bagaimana orang Banda bisa menjalin hubungan dagang dengan pedagang Cina dan Arab. Setelah perdagangan Pala mundur, nama Banda kembali mencuat karena pengasingan Hatta dan Sjahrir. Setelah itu, pulau kecil di Timur Indonesia ini nyaris terlupakan. Saat ini bidang pariwisata bisa membantu Banda untuk kembali bersinar, keindahan alam bawah laut dan sejarah pulau tersebut bisa menarik minat wisatawan. 

Saya sudah lama berminat dengan Banda Neira. Selain keinginan berkunjung ke sana suatu hari nanti, saya tertarik dengan sejarah Palanya. Buku ini membuat saya semakin berminat untuk membaca buku-buku sejarah mengenai Banda lainnya.