Pages

Friday, March 18, 2016

Willow Trees Don't Weep



Judul : Willow Trees Don't Weep
Penulis : Fadia Faqir
Penerbit : Heron Books
Tahun Terbit : 2014
Jumlah Halaman : 276



Najwa, 27 tahun, baru saja kehilangan ibundanya yang meninggal karena kanker. Setelah ibunya meninggal dunia, Najwa tinggal berdua dengan nenek. Neneknya menegaskan Najwa untuk mencari ayahnya. Di mata masyarakat tidak adanya laki-laki di rumah sama dengan tidak mempunyai pelindung dan penjaga kehormatan. Keluarga tersebut tidak mempunyai status. Keluarga mereka tertutup dengan lingkungan sekitar. Najwa sudah terbiasa tanpa ayah tetapi nenek bersikeras menyuruhnya mencari sang ayah. Wanita yang hidup sendiri tidak dipandang baik.


Ayah Najwa, Omar Rahman, meninggalkan rumah ketika Najwa berusia tiga tahun. Selain tidak ada laki-laki di atas rumah, keluarga mereka dicap sekuler di tengah-tengah lingkungan yang religious. Omar meninggalkan keluarga kecilnya tanpa pesan, pamit, dan pelukan perpisahan. Ibunya menanggalkan jilbab, memotong rambut dan memisahkan barang-barang peninggalan ayahnya berupa pakaian, sajadah dan buku-buku agama. Ia marah dan sakit hari karena agama penyebab suaminya pergi. Najwa dibesarkan tanpa ayah dan tanpa ajaran agama. Tidak ada simbol agama dan ibadah di dalam rumah. Neneknya yang berasal dari Palestina masih beribadah secara diam-diam.


Ketika Najwa lahir, orang tuanya masih sama-sama menyelesaikan pendidikan. Omar Rahman mempelajari ilmu keperawatan sementara Raneen, ibu Najwa, sedang menyelesaikan pendidikan keguruan. Kesibukan pendidikan masing-masing ditambah kehadiran seorang anak seringkali menimbulkan ketegangan dalam rumah tangga mereka. Omar tidak betah menghadapi istrinya yang dianggap terlalu dominan di rumah. Omar memiliki seorang sahabat  bernama Hani. Keterlibatan Omar dengan kelompok jihad berawal dari Hani. Omar sendiri tidak terlalu agamis.  Keduanya bergabung dengan pasukan jihad saat Rusia menginvasi Afghanistan pada 1979. Omar menjadi tenaga medis dari sisi mujahidin sementara Hani bertempur di garis depan.


Sosok Ayah sudah mengabur di ingatan Najwa. Najwa mengumpulkan informasi dari imam mesjid setempat, catatan harian dan surat-surat ayahnya. Najwa juga bertemu dengan keluarga Hani yang menjadi martir di Afghanistan. Najwa memasuki Afghanistan melalui Peshawar, Pakistan. Sepotong demi sepotong petunjuk ia telusuri hingga mempertemukannya dengan istri kedua ayahnya yaitu perempuan Afghanistan bernama Gulnar. Kisah heroik ayahnya menjadi tenaga medis dari pihak mujahidin banyak didengar oleh Najwa dari orang-orang yang ditemuinya. Omar Rahman telah menyelamatkan banyak nyawa dengan peralatan dan obat-obatan medis seadanya. Najwa mendapati Omar Rahman sudah bergabung dengan kelompok jihad global di Inggris. Apa yang terjadi dengan ayahnya ? Berhasilkah Najwa menemukan ayahnya ? 


Ceritanya cukup menarik minat dengan setting konflik negara timur tengah. Ada benturan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut masyarakat dengan keluarga Najwa sendiri. Namun ada beberapa hal yang mengecewakan ekspektasi membaca saya. Najwa sendiri melakukan perjalanan pencarian ayah bukan dari hati sendiri, lebih karena menjalankan perintah neneknya. Karakter Najwa pun tidak terlalu terlihat dalam cerita ini lebih menonjolkan ibu yang sakit hati dan neneknya yang selalu menasehatinya. Kisah pencarian ayah yang menghilang selama 24 tahun seharusnya menjadi perjalanan mengharukan tetapi hal tersebut tidak terjadi. Kondisi Afghanistan hanya digambarkan sekilas pandang yang bisa dieksplorasi lebih dalam dari sisi kemanusiaannya. 


Buku ini sudah berada di currently reading shelve goodreads sejak tahun lalu dan terbengkalai digantikan buku-buku lain. Pertama jatuh hati memang karena covernya dan setting cerita di timur tengah. Saya pertama kali membaca karya Fadia Faqir, penulis yang lahir di Jordania. Karya-karya Fadia Faqir mengulas mengenai kehidupan wanita dan kebudayaan arab. Fadia Faqir menjadi pengajar creative writing di Universitas Durham, Inggris. Buku ini disertakan dalam #tantanganbacaGRI yang digagas oleh Goodreads Indonesia.


(source : @bacaituseru)


Monday, March 7, 2016

Burmese Days




Judul : Burmese Days
Penulis : George Orwell
Penerbit : Penguins
Tahun Terbit : 1990
Jumlah Halaman : 184 


Burmese Days menceritakan kehidupan Burma saat masih berada di bawah penjajahan Inggris di tahun 1920-an. U Po Kyin, seorang hakim lokal di Kyauktada menikmati hari-hari menjelang masa pensiunnya. U Po Kyin mempunyai pengaruh kuat di antara penduduk pribumi. Ia bisa bertindak sesuka hatinya, menjebloskan orang-orang yang tidak disukai atau merusak gadis muda mana saja yang ia mau. U Po Kyin sedang merancang strategi untuk menjatuhkan dokter India bernama Dr Veraswami. Tidak mudah langsung menjegal Dr Veraswami karena sang dokter berkawan akrab dengan orang Eropa bernama John Flory.

Kehidupan sosial orang-orang Eropa di Kyauktada berpusat di klub. Komoditas utama dari Kyauktada adalah kayu. Sebagian besar orang-orang Eropa mempunyai bisnis kayu jati. John Flory, pria Inggris berusia 35 tahun, telah tinggal di Burma selama 15 tahun. Ia mempunyai tanda lahir di wajah yang terkadang membuatnya kurang percaya diri. Flory sering mengunjungi rumah Dr Veraswami. Mereka cocok satu sama lain dalam berdiskusi dan bertukar bahan candaan. Flory menemukan tempatnya membahas hal-hal yang tidak mungkin ia bicarakan di klub. Dr Veraswami menyebut niat jahat U Po Kyin yang ingin merusak nama baiknya terutama di mata orang-orang Eropa. Buaya, Dr Veraswami menyebut U Po Kyin. Seperti buaya yang menyerang pada titik terlemah.

Elizabeth Lackersteen datang dari Paris. Usianya 22 tahun. Mr dan Mrs Lackersteen menerima keponakan mereka yang sudah yatim piatu. Dengan kehadiran wanita muda Eropa tentu menarik perhatian laki-laki. Mrs Lackersteen mulai mencari calon suami potensial untuk Elizabeth. Flory penuh semangat mengenalkan Elizabeth dengan kehidupan Kyauktada. Kehadiran Elizabeth memancing rasa ingin tahu pribumi. Alih-alih Elizabeth terpesona dengan dunia timur yang eksotik, ia malah merasa tidak nyaman. Elizabeth mengalami culture shock. Ia berpendapat mereka jorok, kotor dan tidak sopan.
Dunia Flory berubah setelah kehadiran Elizabeth. Laki-laki ini jatuh cinta. Kekosongan hati yang Flory rasakan tidak bisa diisi oleh Ma Hla May, gadis muda Myanmar. Flory menyuruh Ma Hla May keluar dari rumahnya. Ma Hla May tidak terima begitu saja disingkirkan walaupun mendapatkan uang kompensasi yang cukup banyak. Hubungan Flory dengan Elizabeth tidak berjalan mulus apalagi muncul seorang komandan militer yang jauh lebih muda dari Flory.

Klub adalah tempat sosialisasi ekslusif orang-orang Eropa. Sebuah dunia asing dari penduduk sekitarnya. Anggota klub memutuskan akan memilih dan menerima satu anggota dari kalangan pribumi. Salah satu anggota klub bernama Ellis menolak mentah-mentah usulan tersebut.  Anggota-anggota klub termasuk Flory mendapat surat kaleng yang berisi fitnah  terhadap Dr Veraswami. Flory tidak menghiraukan surat anonim yang menjatuhkan sahabatnya yang didalangi oleh U Po Kyin. Flory mengajukan nama Dr Veraswami menjadi calon anggota klub. 

Niat jahat U Po Kyin mendapat tentangan dari istrinya. Sepanjang hidup bersama suaminya saat terindah justru ketika mereka hidup pas-pasan. Ma Kin tidak habis pikir yang menyebabkan U Po Kyin begitu ingin menyingkirkan Dr Veraswami. Mereka sudah mendapat segalanya tinggal menikmati hari-hari masa pensiun. U Po Kyin mempunyai ambisi sama dengan Dr Veraswami untuk menjadi anggota klub. Adalah suatu kebanggaan bagi pribumi bisa diterima dan setara dengan orang-orang Eropa. Ia menganggap Dr Veraswami menghalangi jalannya karena yakin akan mendapat dukungan Flory. U Po Kyin menyusun skenario agar tujuannya tercapai. Skenario-skenario ini lah yang akan mempengaruhi jalan hidup banyak orang.

George Orwell mengkritik kolonialisme yang hanya mengeruk keuntungan dari negara jajahan. Di sisi lain pemerintah Inggris dinilai sangat berperan membawa pribumi dari keterbelakangan. Kehidupan kolonial tidak terlepas dari pertentangan prasangka antara orang kulit putih dan pribumi. Orang-orang Eropa menduduki lapis sosial paling atas sehingga pribumi berlomba-lomba untuk dipilih menjadi anggota klub mereka. Prestise pribumi akan terangkat di mata masyarakat karena bisa duduk sejajar dengan orang kulit putih. 

Burmese Days merupakan karya pertama dari George Orwell. Pada masa mudanya George Orwell pernah bertugas sebagai anggota kepolisian British India di Burma. Pengalaman tersebut mengilhaminya menulis Burmese Days. Gaya penulisan Orwell sungguh memikat melalui penggambaran karakter-karakternya sehingga temanya tidak terasa berat. Pengalaman kedua saya membaca karangan George Orwell setelah Animal Farm dan bisa dipastikan saya menambah list penulis favorit saya.