Pages

Wednesday, October 31, 2012

Jeritan Hati Nurani : Dilema Kehidupan Sang Hakim

Jeritan Hati Nurani : Dilema Kehidupan Sang HakimJeritan Hati Nurani : Dilema Kehidupan Sang Hakim by J.M. Coetzee

Penerbit  : Yayasan Obor Indonesia

My rating: 3 of 5 stars



Si Aku adalah seorang hakim tua bekerja di sebuah kota perbatasan. Tahun-tahun ia bertugas mengurusi perkara yang sepele. Namun situasi kerajaan semakin tegang dalam menghadapi penduduk asli yang disebut kaum barbar. Desas- desus yang berkembang kaum barbar akan bersatu untuk menyerang kerajaan. Posisi kota di perbatasan semakin terancam. Serangan kaum barbar terjadi dua puluh mil dari pusat kota mengakibatkan perubahan bagi penduduk. Pasukan kerajaan menangkap seorang lelaki dan anak kecil yang dicurigai kaum barbar dan membawanya ke kota. Hakim tidak menyukai cara interogasi yang dilakukan Kolonel Joll yang menyebabkan kematian. Tak lama kemudian, pasukan tersebut membawa orang-orang yang lebih banyak. Mereka dipaksa menunjukkan dimana keberadaan kaum barbar. Hakim membawa seorang gadis muda dari kumpulan orang-orang tersebut ke apartemennya. Tindakan hakim tersebut dinilai memalukan karena ‘memungut’ gadis dari kaum barbar dan menjadikannya teman tidur.

Hakim berniat mengembalikan gadis tersebut kembali ke kaumnya. Kaum barbar hidup nomaden. Rombongan hakim menempuh perjalanan jauh di ujung musim dingin. Sekembalinya ke kota, pasukan militer sudah menguasai kota. Hakim tersebut ditangkap dengan tuduhan menjalin kontak dengan kaum barbar yang merupakan musuh dari kerajaan. Posisinya sebagai hakim dilucuti.

Ketika pasukan berhasil menangkap sekelompok kecil kaum barbar, laki-laki bar-bar ditelanjangi dan diarak ke alun-alun kota. Penyiksaan dilakukan di depan umum tanpa melihat ada anak kecil yang menonton. Satu-satunya suara yang menentang adegan penyiksaan tersebut yaitu si hakim. Propaganda tentang keberingasan kaum barbar berhasil membuat keresahan pada masyarakat. Tanaman gandum yang rusak dicurigai disebabkan oleh ulah kaum barbar. Masyarakat menggantungkan harapannya kepada pasukan keamanan.

‘Jeritan Hati Nurani : Dilema Kehidupan Sang Hakim’ adalah terjemahan dari ‘Waiting for the Barbarians’. Judul terjemahannya mengacu pada suara hati dari si hakim. Cerita yang menyentil kehidupan apartheid di Afrika Selatan. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1980 yang saat itu Apartheid masih berlangsung. Suara hakim menunjukkan suara minor dari golongannya yang mayoritas tidak masalah terhadap tindakan biadab tersebut. Mengapa sebagai bangsa yang beradab malah melakukan tindakan yang biadab terhadap penduduk asli? Pengalaman membaca buku ini mengenalkan bagaimana rupa dari apartheid itu karena gambaran awal saya apartheid itu seperti diskriminasi rasial di Amerika Serikat. ‘Waiting for the Barbarian’ termasuk dalam great books of the 20th century yang diterbitkan oleh Penguin Books.


Tentang Penulis : J.M Coetzee.


John Maxwell Coetzee atau J.M Coetzee merupakan sastrawan kelahiran Cape Town. Afrika Selatan. Ia menerima nobel sastra pada tahun 2003. Penulis Afrika Selatan yang kedua mendapatkan nobel sastra setelah Nadine Gordimer. Karyanya yang berjudul  ‘Life & Times of Michael K’ dan ‘Disgrace’ mendapatkan penghargaan Man Booker Prize.  Kedua buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia ‘Kisah Hidup Michael K’ (Jalasutra, 2003) dan ‘Aib’ (Jalasutra, 2005). Sejak  tahun 2006, J.M Coetzee menjadi warga Negara Australia dan tinggal di Adelaide.





Monday, October 29, 2012

Jalan Tak Ada Ujung

Jalan Tak Ada UjungJalan Tak Ada Ujung by Mochtar Lubis

Penerbit : Yayasan Obor Indonesia

My rating: 4 of 5 stars



“Saya sudah tahu –semenjak semula—bahwa jalan yang kutempuh ini adalah tidak ada ujung. Dia tidak akan habis-habisnya kita tempuh. Mulai dari sini, terus, terus, terus, tidak ada ujungnya. Perjuangan ini, meskipun kita sudah merdeka, belum juga sampai ke ujungnya. Dimana ujung jalan perjuangan dan perburuan manusia mencari bahagia? Dalam hidup manusia selalu setiap waktu ada musuh dan rintangan-rintangan yang harus dilawan dan dikalahkan. Habis satu muncul yang lain, demikian seterusnya. Sekali kita memilih jalan perjuangan,maka itu jalan tak ada ujungnya. Dan kita, engkau, aku, semuanya telah memilih jalan perjuangan”.- (Hazil, Jalan Tak Ada Ujung)

Kondisi sosial politik Indonesia pasca deklarasi kemerdekaan masih belum stabil. Kota Jakarta masih dikuasai oleh tentara sekutu yang melakukan penggeledahan sesuka hati. Laskar-laskar rakyat masih melakukan pertempuran di daerah Bekasi – Karawang. Guru Isa ikut bergabung dalam perjuangan. Dalam pergerakan ia berjumpa dengan pemuda bernama Hazil. Kecocokan mereka dipersatukan oleh musik. Tidak seperti Hazil yang telah memilih berjuang dengan sepenuh hati, Guru Isa berjuang karena ketakutannya. Takut dengan anggapan orang sekitar. Tuduhan menjadi mata-mata sangat serius karena bisa saja langsung dieksekusi mati. Ketika Guru Isa berada dalam perjuangan, ketakutannya semakin bertambah. Ketakutan-ketakutannya menjadi mimpi buruk di setiap malam. Walaupun ia tidak mengatakannya secara terus terang, istrinya Fatimah mengetahuinya.

Walaupun statusnya sebagai guru mendapatkan penghargaan lebih dari masyarakat namun gaji Guru Isa tidak lagi mencukupi kebutuhan keluarganya. Sementara tidak mungkin untuk meminta kenaikan kepada kepala sekolah. Akhirnya Guru Isa mengambil buku-buku tulis baru dan menjualnya ke toko alat tulis. Hati nuraninya menentang pertama kalinya tetapi keadaan membuatnya mengabaikan rasa bersalahnya.
Sementara itu Hanzil lebih banyak terjun langsung dalam perjuangan. Dia menghampiri rumah Guru Isa jika ada tugas perjuangan atau untuk bermain biola. Frekuensi kedatangannya tidak menentu. Kadang-kadang ia menghilang cukup lama.

Suasana dari novel ‘Jalan Tak Ada Ujung’ ini suram dan mencekam. Mochtar Lubis tidak hanya menggambarkan suasana Jakarta pada saat revolusi tetapi juga situasi sosial yang diwakilkan lewat tokoh-tokohnya seperti Guru Isa, Hazil, Ayah dari Hazil. “Sebagai kebanyakan orang di hari-hari pertama revolusi itu, Guru Isa belum menganalisa benar-benar kedudukannya, kewajibannya dan pekerjaannya dalam revolusi. Selama ini dia membiarkan dirinya dibawa arus. Arus semangat rakyat banyak”.

‘Jalan Tak Ada Ujung’ pertama kali diterbitkan pada tahun 1952 oleh penerbit PT Dunia Pustaka Jaya. Novel ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris 'A Road with no End' pada tahun 1968.


View all my reviews