Pages

Showing posts with label in english. Show all posts
Showing posts with label in english. Show all posts

Friday, January 22, 2016

I Know Why The Caged Bird Sings




Judul : I Know Why The Caged Bird Sings
Penulis : Maya Angelou
Penerbit : Ballantine Books
Tahun Terbit : 2009
Jumlah Halaman : 289


Marguerite dan Bailey Johson Jr. melakukan perjalanan kereta api dari Long Beach, California ke Stamps, Arkansas. Marguerite berusia 3 tahun dan Bailey 4 tahun. Mereka berdua hanya ditemani seorang porter. Setelah orang tua mereka bercerai, kakak beradik ini dikirimkan ke rumah nenek dari pihak ayah. Momma, panggilan kesayangan buat nenek mereka, mendidik mereka dalam lingkungan yang religius. Marguerite, yang kemudian dipanggil Maya, terbiasa membantu Momma di toko. Momma adalah satu-satunya wanita negro yang memiliki toko di Stamps. Berdua dengan Bailey mereka berbagi tugas membantu Paman Willie dan Momma di toko. 

Maya dan Bailey adalah anak-anak pintar. Keduanya suka membaca. Maya memuja kakak lelakinya sebagai satu-satunya orang yang ia miliki di dunia. Suatu ketika ayah mereka, Bailey senior, pulang ke Stamps. Kehadiran dan aksennya yang menyerupai orang kulit putih menyerap perhatian orang-orang satu kota. Maya dan Bailey dibawa untuk bertemu ibu mereka di St Louis. Akan tetapi ada keengganan bertemu dengan ibu. Mereka merasa seperti anak yang tidak diharapkan hingga dibesarkan oleh Momma. 

Jika Bailey adalah perpaduan kesempurnaan dari kedua orang tua maka Maya merasa anak pungut karena tidak mirip keduanya. Postur Maya tinggi besar untuk ukuran gadis seumurannya. Ia pun tidak mewarisi kecantikan sang ibu. Rasa rendah diri berulang kali ia alami. Selama di St Louis Bailey dan Maya tinggal dengan Ibu dan pacarnya Mr Freeman. Sebuah peristiwa buruk menimpa Maya. Ia mendapat pelecehan seksual dari pacar ibunya. Semenjak itu Maya hanya mau berbicara pada Bailey saja. Mereka berdua kembali ke Stamps, Arkansas.

Dalam I Know Why The Caged Bird Sings, Maya Angelou menuliskan masa kecilnya di selatan Amerika Serikat hingga ia berusia 17 tahun. Pada masa itu di daerah selatan Amerika Serikat masih meruncing diskriminasi ras antara kulit hitam dan kulit putih. Dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan anak-anak kecil kulit putih mengejek dan menghina Momma. Momma sedikit pun tidak bergeming. Ia menahan diri dan tidak membalas kekurang ajaran anak-anak kecil tersebut. Momma yang religius membesarkan kedua cucunya dengan nilai-nilai agama yang taat. Jika ada pembicaraan orang dewasa yang menyangkut tindakan orang kulit putih yang semena-mena, Momma akan mengusir mereka ke kamar.

"It was awful to be Negro and have no control over my life. It was brutal to be young and already trained to sit quietly and listen to charges brought against my color with no chance of defense." 
- Hal 180.

Ketidakadilan yang diterima orang kulit hitam sulit disembunyikan buat dua anak yang sedang tumbuh ini.  Momma dan Maya pernah ditolak dokter gigi karena dokter tersebut mempunyai prinsip tidak melayani orang kulit berwarna. Sekalipun dokter gigi pernah mendapat bantuan dari Momma. Dokter gigi mengatakan lebih baik ia mengurusi mulut anjing ketimbang orang kulit hitam. Perlakuan diskriminasi juga membuat Bailey trauma dan bertanya mengapa mereka (kulit putih) sangat membenci orang kulit hitam. Dengan sendirinya mereka mulai memahami situasi di masyarakat mereka. Dari pengalaman masa kecilnya ini Maya Angelou akhirnya menjadi wanita yang menginspirasi dunia.


Monday, March 30, 2015

A Long Way Gone




Judul : A Long Way Gone : Memoirs of a Boy Soldier 

Penulis : Ishmael Beah

Penerbit : Sarah Crichton Books / Farrar, Straus and Giroux 

Tahun terbit : 2007 

Jumlah halaman : 229 




Ishmael, anak laki-laki berusia dua belas tahun yang menyukai musik rap dan hip hop melakukan perjalanan ke Matrru Jong, Sierra Leone. Ia bersama Junior, kakak laki-lakinya dan beberapa temannya membentuk kelompok musik yang akan pentas di talent show temannya. Ketika mereka berada di kota Matrru Jong. Pemberontak datang menyerang kota mereka dan menembaki penduduk yang tidak bersalah. Ishmael tertahan dan tidak bisa pulang ke rumah. Kota mereka dikuasai oleh pemberontak. Ishmael memikirkan nasib orang tuanya yang tidak diketahui. 

Kota Matrru Jong adalah kota berikutnya yang jatuh ke dalam tangan pemberontak. Ishmael terjebak dalam chaos dimana orang berebut menyelamatkan hidupnya masing-masing. Histeris dari orang tua kehilangan anak dan anak yang terlepas dari genggaman ibu mereka bercampur dengan suara tembakan pemberontak. Ishmael bersama enam anak lainnya berlari bersama penduduk yang bersembunyi ke hutan. 

Pemberontak RUP menganggap aksi mereka sebuah perjuangan untuk kemerdekaan dengan memberontak pemerintah yang korup. Korban jatuh lebih banyak dari kalangan sipil. Ishmael gemetaran melihat pemberontak menembak sesuka hati dari tempat persembunyian. Kota yang sudah jatuh ke tangan pemberontak bergelimpangan mayat-mayat yang dibiarkan membusuk di jalan. Dalam pelarian, masalah utama yang mereka hadapi adalah kelaparan. Diam-diam kembali ke Manttru Jong untuk mengambil apa yang bisa dimakan. Ishmael nyaris tertangkap pemberontak. Ia dan teman-teman berlari menjauhi Mattru Jong. Pemberontak merekrut remaja seusia mereka untuk dijadikan prajurit. Hal tersebut membuat kehadiran mereka dicurigai oleh penduduk desa. Pakaian dilucuti dan mereka diinterogasi sampai kepala desa menilai mereka tidak lebih dari anak-anak yang mencari perlindungan. 

Di desa lainnya mereka mendapatkan serangan tiba-tiba dari pemberontak. Dalam situasi chaos, Ishmael terpisah dari kakak dan teman-temannya. Ia kembali berjalan tidak tentu arah. Ishmael berjumpa dengan anak-anak lain yang sebaya dan bergabung dengan mereka. Di samping kedatangan kelompok mereka yang dicurigai penduduk desa, mereka mendapati kemurahan hati orang-orang yang memberikan makanan dan tempat berteduh. Namun hal tersebut tidak lama, mereka harus keluar dari desa dan kembali ke jalan. Ishmael bertemu seorang wajah dikenali yang memberitahunya kehadiran keluarganya di suatu desa. Ketika ia memasuki desa tersebut, pemberontak sudah berada lebih dulu di desa tersebut. Desa tersebut porak poranda dan mayat bergelimpangan dimana-mana.

Pelarian Ishmael sampai pada desa yang dikuasai tentara pemerintah. Awalnya ia dan teman-temannya membantu pekerjaan dapur. Tentara pemerintah merekrut anak laki-laki menjadi prajurit. Kebencian mereka pada pemberontak dimanfaatkan untuk melatih mereka. Bayangkan mereka yang membakar rumah kalian, membunuh orang tua kalian, dan orang yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada hidup mereka. 

Dalam pertempuran pertamanya, Ia melihat dua anak laki-laki yang berusia 7 dan 8 tahun memanggul senapan yang lebih tinggi dari tubuhnya. Mereka tewas saat pertama kali diterjunkan ke medan pertempuran. Lama kelamaan Ishmael mahir menggunakan senjata AK 47 dan bayonet hingga ia dijuluki green snake.Kegemaran tentara setelah berperang tertular juga pada Ishmael, menonton film perang Holywood dan memakai heroin. 

Setelah dua tahun bergerilya bersama tentara pemerintah, Ishmael dibawa ke Freetown, ibukota Sierra Lone. Mantan tentara anak baik dari pemerintah maupun dari pemberontak RUF dikumpulkan dan dibina di bawah Unicef. Kesempatan kedua menata hidup setelah masa kecil mereka terkoyak perang bersaudara. Fase adaptasi awalnya sulit bagi mereka. Emosi gampang meledak dan merusak fasilitas tanpa alasan. Bahkan perang kecil terjadi antara mantan tentara pemerintah dan pemberontak. Kebiasaan menghisap marijuana dan memakai heroin juga menjadi masalah. Ishmael dihantui mimpi buruk dan tidak bisa tidur nyenyak. Secara rutin, ia harus ke rumah sakit menjalani pemeriksaan medis. Perawat bernama Esther mendengarkan semua kisah hidup Ishmael, mimpi-mimpi buruknya dan kesukaannya dengan musik reggae dan rap.


Kisah hidup Ishmael ini sungguh inspiratif. Masa kanak-kanaknya terjebak dalam perang saudara di Sierra Leone. Pelarian bersama anak-anak lainnya membawa kecurigaan penduduk desa yang mereka singgahi hingga akhirnya ia bergabung menjadi tentara anak di pasukan pemerintahan. Menariknya Ishmael tidak menonjolkan sisi heroik atas jalan hidupnya. Ia menuturkan kisahnya apa adanya. Ishmael beruntung mendapat kesempatan menceritakan pengalamannya di PBB. Hal tersebut membuka mata dunia mengenai mantan tentara anak yang kembali ke masyarakat. Kondisi keamanan dan politik Sierra Leone kembali bergejolak setelah Ishmael pulang dari Amerika. Pasukan bersenjata memasuki ibukota Freetown. Tidak ingin terjebak dalam situasi yang sama, Ishmael menempuh risiko menyeberangi perbatasan Sierra Leone.