Pages

Tuesday, April 29, 2014

Jamangilak Tak Pernah Menangis



Judul : Jamangilak Tak Pernah Menangis

Penulis : Martin Aledia

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit : 2004


Perempuan itu berdiri di tengah sungai yang sudah tidak bening lagi dan baunya yang menyengat. Molek namanya, istri dari Jabosi. Molek kerap mengamati sungai selama berjam-jam. Sungai yang membawa pasir semakin banyak dari hulu. Sungai semakin dangkal dan kota kecilnya terancam tenggelam. Ia melemparkan pasir ke tepian. Suatu tindakan yang dianggap sia-sia dan sedikit gila bagi yang melihat dan tidak mengetahui maksudnya. Jarebosi sedang bersiap meninggalkan rumah demi mencari harapan baru, tidak ada yang bisa diharapkan lagi di kota tersebut. Molek tidak bergeming untuk ikut dengan suaminya.

"Tak apa-apa, biarlah aku tetap di sini. Bertahan sampai kota ini karam. Hidup cuma sekali. Dan, kalaupun hidup datang berulang kali, aku akan tetap memilih tinggal disini", ujar Molek saat melepas Jabosi.

Molek sangat senang anaknya, Hurlang, pulang ke rumah. Hurlang kembali dari pulau Jawa setelah bertahun-tahun pergi tanpa pamit pada Omaknya. Hurlang ditangkap karena terkait dengan pergerakan kaum kiri. Hurlang sudah kenyang hidup di penjara. Molek memberitahukan kota kecil mereka yang sudah berubah. Molek dan Hurlang bersama-sama mengajak penduduk lainnya untuk melawan. Di Padang Bundar Molek berorasi "Kemana kah pajak yang kita bayar ?". Rapat akbar berakhir dengan tertib.

Buntut dari rapat akbar di Padang Bundar adalah Molek dan anaknya diinterogasi militer. Media massa menyiarkan berita tersebut dan Molek mendapatkan perhatian. Hurlang sempat tertahan selama beberapa hari dan mendapat penganiayaan dari aparat yang cukup parah.

Hurlang si anak hilang yang telah pulang meminta maaf dan mohon ampun dari Ibunya. Bukan jalan yang telah diambilnya yang membuat dia ditahan dan disiksa di penjara yang disesalinya tapi perbuatan zina yang pernah dilakukan bersama istri orang setelah lepas dari penjara yang membuatnya minta ampun. Molek marah sekali. Hukuman buat Hurlang adalah dirajam. Molek mendapati dilema besar karena ia yang melahirkan dan harus menjalankan hukuman mengakhiri hidupnya. Molek dan Hurlang bersampan ke tanah rumah mereka sebelum mereka pindah ke kota. Molek melemparkan api dan meninggalkan Hurlang menjalani hukuman setimpal buat pezina. Molek kembali dengan hati tercabik-cabik dan mulai merasakan hilangnya si anak bungsu. Hurlang mendapati keberuntungan, ia diselamatkan serangga merah yang menyerbu sekujur badannya. Molek melihat serangga merah tersebut adalah api yang melumat tubuh Hurlang dan tidak tahu anaknya masih hidup.

Perjuangan Molek menyelamatkan sungai membuat masyarakat di tepi Danau Toba mengharapkan bantuannya. Pabrik pengolahan bahan kertas yang terletak di mulut Danau Toba telah mencemari lingkungan sekitar. Pabrik tersebut persis berdiri di hulu sungai yang mengalir ke kota Molak dan terancam pendangkalan. Masyarakat di sekitar pabrik menuntut penutupan pabrik tersebut. Suara-suara protes dibungkam dengan cepat.

Molek berangkat ke Siraituruk seorang diri. Molek akan ikut berorasi. Sebelum orasi, Molek pergi ke pabrik tersebut tanpa dicurigai petugas keamanan. Ia melihat, membaui air sungai yang berbau busuk yang telah tercemar limbah beracun. Aksi demonstrasi ini menarik dukungan hingga anak-anak sekolah mogok. Tiga pastor katolik berdiri di barisan paling depan. Ketika mobil-mobil petugas keamanan bersenjata datang, tiga pastor ini berdiri di tiga penjuru. Dan mereka lah yang diangkut dan diamankan pertama kalinya. Molek dan belasan orang lainnya ikut ditangkap. Hurlang pun ikut tertuduh sebagai provokator hanya karena ia menyusul ibunya ke Siraituruk dan berada ditengah-tengah masa.

Buku ini menceritakan bagaimana seorang perempuan biasa melakukan perlawanan untuk sungai dan keberlangsungan hidup kotanya. Sungai yang semakin dangkal akan membuat kota tempat tinggalnya terancam karam.  Molek adalah perempuan yang gigih dan tegas, sekalipun menyangkut anak kandungnya sendiri. Budaya Batak dan Melayu terasa kental di cerita ini. Perjalanan hidup Hurlang sebagai aktivis politik kiri tidak lepas dari sejarah pemberangusan anggota PKI pasca peristiwa tahun 1965. Ada dua peristiwa yang menjadi latar belakang kisah ibu dan anak ini. Pertama, peristiwa tahun 1965 yang diceritakan melalui kisah hidup Hurlang. Kedua, protes terhadap pabrik pengolahan kertas di Danau Toba yang merusak lingkungan sekitar.


Kenapa judulnya bisa Jamangilak Tak Pernah Menangis ? Jamangilak adalah kakek dari Jabosi yang pertama kali datang ke kota tersebut. Ia dikenal orang yang pantang menyerah. Ketika Molek dan Hurlang bertemu di pengadilan. Molek menangis dan Hurlang berkata, "Jangan menangis. Kuatkan hati kita di depan mereka. Ingat, Omak sendiri yang mengatakan kakek-buyutku, Jamangilak, tak pernah menangis dalam hidupnya, mengembara dengan berjalan kaki dari pantai barat di tanah Batak ini menuju tepian Selat Malaka".



6 comments:

  1. tadi pertama baca judulnya kirain semacam plesetan dari "jaman gila" hehehe... budaya danau toba nih menarik ya... deket kampung halaman mamaku hihih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, aku pikir pertamanya juga gitu. Eh ternyata itu nama orang. Hihihi.

      Delete
  2. Jadi ini tuh historical fiction gitu juga yaaa?

    ReplyDelete
  3. wahah terus kabar suaminya, ngga ada lagi, ya , zi? lebih ditekankan ke Molek dan anaknya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Suaminya selama merantau sama sekali engga kasih kabar. Jadi fokus ke Molek dan anaknya.

      Delete

Thank your for leaving comment. :)