Pages

Friday, May 16, 2014

Mati Baik - Baik, Kawan



Judul : Mati Baik-baik, Kawan


Penulis : Martin Aleida

Penerbit : Ultimus

Tahun Terbit : 2014



Kumpulan cerpen Mati Baik-baik, Kawan terdiri dari tiga belas cerpen yang menceritakan pahit dan getirnya kehilangan orang yang dicintai, harta benda yang dirampas semena-mena, kesempatan, dan harapan hidup orang-orang yang dituduh terlibat dalam peristiwa 1965. Efek dari peristiwa yang terjadi akhir di September telah kita rasakan selama 32 tahun berlangsungnya pemerintahan orde baru. Stigma semua yang berbau kiri adalah jahat masih belum bisa hilang.  Jutaan orang tumpas. Jasadnya dicampakkan ke sungai dan laut. Yang luput dari maut dimasukkan dari penjara ke penjara, disiksa hingga batas kesadaran manusianya hilang, dan dibuang ke pulau yang terpencil selama bertahun-tahun. Cap negatif lekat juga pada kerabat yang ditinggalkan. Istri yang tidak mengetahui kegiatan politik suaminya dan anak-anak yang dibesarkan tanpa ayah ikut menanggung hukuman sosial, dikucilkan dan diasingkan dalam masyarakat.

Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh
Cita-cita Mangku adalah mati jauh dari tanah kelahirannya. Ia yatim piatu. Ayahnya petani yang tewas setelah peristiwa 1965. Mangku masih beruntung bisa selamat karena air mata kanak-kanaknya membuat jatuh iba tuan tanah. Mangku memilih untuk pergi ke Lampung, daerah yang penduduk Bali. Dengan seekor anjing dan kera, Mangku berangkat menuju tanah Sumatera.

Tanpa Pelayat dan Mawar Duka
Seseorang yang meninggal dunia tapi tak satupun orang mau menggalikan kubur untuknya. Semasa hidup ia menjadi informan pemerintah untuk menangkap teman-teman satu organisasi dahulu bahkan ia pun ikut interogasi.


Leontin Dewangga
Di depan istrinya yang sedang kritis, Abdullah membeberkan pengakuan masa lalunya sebelum mereka menikah. Abdullah pernah ikut dalam organisasi terlarang. Ternyata sang istri pun menceritakan rahasia hidupnya dari liontin kecil.

Ode untuk selembar KTP
Kisah Iramani, perempuan tua yang berusia 72 tahun, mendapatkan identitas yang baru. Selembar kartu tanda penduduk yang polos tanpa tiga huruf yang sebelum ada di lembar identitas lamanya. Tiga huruf tersebut membekas dari perjalanan hidupnya dari penjara ke penjara. ETP,eks tahanan politik.


Dendang Perempuan Pendendam
Ketika Pakde Suto mati, berkali-kali tukang kubur mencangkul tanah agar pas dengan jenazah. Pakde Suto mencaplok sawah keluarganya sedikit demi sedikit selama empat puluh tahun sehingga berkurang seluas dua ratus meter persegi. Sementara keluarga yang harus dihidupi ada sebanyak delapan anak. Keluarganya tidak bisa berbuat-buat apa selain menahan geram. Ayah mereka dibantai juga karena Pakde ini yang membocorkan rahasia pelariannya setelah peristiwa 1965. Jenazah Pakde Suto yang ditolak tanah akibat dari ulah semasa hidupnya.


Melarung Bro di Nantalu
Bro memenuhi undangan dari Tiongkok untuk menjadi guru Bahasa Indonesia beberapa tahun sebelum tahun berdarah itu. Revolusi kebudayaan melanda Tiongkok tapi ia tidak bisa pulang ke tanah air. Bro tersingkir ke desa dan melakukan bertani. Bro melarikan diri hingga ribuan kilometer sampai kota Paris. Di Paris, Bro membuka restoran masakan Indonesia yang menjadi tempat pertemuan orang-orang yang hidup dalam eksil. Restorannya pun tak luput dari mata-mata yang dulunya rekan satu partai yang berbalik mengkhianati teman-temannya. Bro meninggal dunia tak sempat menginjak tanah airnya. Jasadnya dikremasi. Abunya ditebarkan di Paris, Amsterdam, Beijing dan Nantalu. Di Nantalu, ya, di Nantalu, yang bermakna "yang kalah", air terus berpendar berkecipak menciumi tebing. Tinggi-tinggi kuangkat cawan berisi sejumput abu Bro. "Tuhan, siapa pun Kau, terimalah kawanku ini. Dia orang baik-baik, sebagaimana yang telah Kau tentukan bagi jalan hidupnya".

Batu -Asah dari Benua Australia
Setelah Kiswoyo keluar dari pulau Buru, ia menjadi tukang asah pisau keliling. Suatu hari ia tidak sengaja keceplosan berbahasa Jepang. Kiswoyo pernah belajar di Universitas Waseda. Ia akhirnya ditarik bekerja di perusahaan Jepang.

Selain itu masih ada cerpen Malam Kelabu, Bertungkus Lumus, Salawat Untuk Pendakwah Kami, Ratusan Mata Di Mana-mana, Perempuan yang Selalu Menggelitik Pinggangku dan Tiada Darah di Lamalera.


Judul kumpulan cerpen ini sangat menarik. Sekali baca akan membuat orang berhenti di rak buku. Tapi saya tidak menemukan judul cerita "Mati Baik-baik, Kawan". Iya, mati baik-baik, kawan merupakan penggalan kalimat dari cerpen Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh. Belum lama ini saya selesai membaca karya Martin Aleida yaitu Jamangilak Tak Pernah Menangis. Tema yang diangkat kurang lebih sama yaitu seputar peristiwa 1965. Cerita-ceritanya begitu nyata karena penulis sendiri adalah pihak yang mengalami tindakan represif orba. 


nb : Cover buku sementara menggunakan cetakan pertama yang diterbitkan penerbit Akar Indonesia.



2 comments:

  1. Azia.. kok kayaknya bukunya menarik yak.. :o
    Aku lagi cari-cari cerpen unik nih ahahah. Itu bahasanya nyastra berat atau nggak? Aku susah cernanya kalo pake bahasa yg berat2 huehehehe. >.<

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bahasanya engga terlalu berat sih menurutku. ^^

      Delete

Thank your for leaving comment. :)