Pages

Thursday, August 28, 2014

Katak Hendak jadi Lembu




Judul  : Katak Hendak jadi Lembu
 
Penulis : Nur Sutan Iskandar
 
Penerbit : Balai Pustaka
 
Tahun terbit : 2000


Suria menjabat sebagai mantri kabupaten di kantor patih Sumedang. Ia mempunyai tiga orang anak. Yang sulung sedang menempuh sekolah amtenaar di Bandung. Anak kedua, Saleh, duduk di kelas 5 HIS dan si bungsu Aminah baru menginjak kelas 2 HIS. Suria cukup terpandang karena jabatannya di kantor patih. Karena statusnya juga tergolong priyayi maka ia congkak dan angkuh bahkan kepada Zubaidah, istrinya sekalipun.

Zubaidah risau dengan suaminya. Gaji Suria sebenarnya kecil dan tidak mampu menopang gaya hidupnya yang berlebihan. Zubaidah lah yang menghadapi orang warung karena hutang suaminya banyak. Kehidupan keluarga mereka diselamatkan oleh uluran tangan ayah Zubaidah, Haji Hasbullah dari Tasikmalaya. Sampai kapan mereka bergantung sama orang tua yang sudah sepuh yang sepatutnya bebas tanggungan anak dan tiba masanya disenangkan oleh anak. Penghematan tidak bisa ditunda-tunda lagi, pikir Zubaidah.

Di kantor, Suria sudah terkenal sombong, gila kekuasaan dan gila hormat. Ia suka memandang rendah bawahan dan tamu yang tidak sederajat dengannya. Ia tidak suka dengan Anak magang Raden Muhammad Kosim. Hasil kerja Kosim tidak pernah memuaskan buat Suria. Ada saja kurangnya. Kosim menahan marahnya ketika Suria memberi tugas mencuci gelasnya yang dirasa sebuah penghinaan.

"Aku amtenar, aku anggota pemerintah dalam negeri, aku priayi..",ujar Suria ketika Zubaidah mengeluh kondisi keuangan keluarganya. Zubaidah meminta Suria untuk menghentikan pengeluaran yang tidak perlu. Gaya hidupnya seperti membeli barang-barang tak perlu, makan di warung dihentikan. Pengeluarannya tidak diimbangi dari gaji bulanannya. Uang sekolah anaknya tertunggak berbulan-bulan hingga anaknya malu ditagih guru. Akhirnya uang kiriman dari Ayah Zubaidah yang menyelamatkan. Zubaidah masih mengingat kewajibannya sebagai istri. Jika tidak sudah lama ia tinggalkan Suria.

Ada lowongan di posisi klerk di kantor asisten residen. Suria mengajukan diri walaupun  ibaratnya turun derajat tetapi gaji klerk lebih besar dari mantri. Namun syarat klerk harus bisa berbahasa Belanda. Keinginan Suria menjadi klerk diketahui orang banyak. Kadang ia pun terhanyut dalam candaan priyayi-priyayi yang menyebutnya klerk. Ternyata yang diangkat jadi Klerk adalah Kosim. Betapa malunya Suria karena selain ia yang berharap besar, anak itu sudah lama berselisih dengannya dan sekarang menjadi batu sandungannya lagi.

Katak Hendak jadi Lembu pertama kali terbit 1935. Karya dari Nur Sutan Iskandar ini termasuk sastra klasik Indonesia. Dari settingnya memang jauh berbeda dengan jaman sekarang tetapi nilai-nilai yang disampaikan masih relevan hingga hari ini. Ciri khas dari karya Nur Sutan Iskandar biasanya menyangkut masalah adat, kawin paksa dan kental budaya Minang. Untuk karya Katak Hendak jadi Lembu agak berbeda. Setting mengambil tanah priangan dan mengulas masalah keluarga. 

Jangan lah bersifat seperti katak yang hendak jadi lembu. Tokoh Suria ini luar biasa menyebalkannya. Status orang bekerja di pemerintah yang termasuk "priayi" maka penampilan pun tidak kalah jauh dari orang kaya atau pejabat. Sementara gaji mantri tidak seberapa. Istrinya selalu makan hati akibat ulahnya. Banyak lah orang-orang kayak Suria zaman sekarang yang gayanya selangit tapi ya sebenarnya kemampuannya tidak mengimbangi lifestylenya. 

Yang saya suka membaca karya-karya sastra klasik Indonesia adalah bahasanya. Saya temukan lagi perumpamaan-perumpamaan yang sudah dilupakan masa sekarang. Misalnya seperti : Bagai bergantung pada dahan lapuk. Telunjuk lurus, kelingking berkait. Buku ini saya sertakan dalam baca bareng BBI yang bertemakan lokal / nusantara.

 

9 comments:

  1. Nanjleb banget pesan moralnya. Ini novel lama bukan ya?

    ReplyDelete
  2. memang novel klasik Indonesia sarat dengan kondisi sosial pada masa itu.
    termasuk mengkritik pribumi yang berpikir kalau mengidentikkan diri dengan kumpeni, status sosialnya jadi tinggi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul Bang, mungkin pola pikir seperti itu karena kita masih di masa penjajahan dan menjadi pegawai pemerintahan sudah dianggap sebagai priyayi.

      Delete
  3. Wah, ini terbit sebelum kemerdekaan ya. Aku juga masih prefer karya klasik Indonesia ketimbang yg kontemporer (walaupun belum banyak baca juga)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, penulis termasuk angkatan Balai Pustaka. ^^

      Delete
  4. Ini termasuk sastra klasik ya. Balai Pustaka masih cetak buku baru gak ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Untuk karya baru aku sendiri kurang tahu ya. Yang aku lihat di toko buku, Balai Pustaka kembali cetak ulang yg sastra klasik. ^^

      Delete
  5. Aku juga suka sastra klasik terbitan BP. Bisa mengenalkan kita dgn gaya bahasa jaman dulu ya :)

    ReplyDelete

Thank your for leaving comment. :)