Pages

Monday, July 15, 2013

Memang Jodoh


Judul : Memang Jodoh
Penulis : Marah Rusli
Penerbit : Qanita
Tahun Terbit : 2013


Selepas lulus dari Sekolah Rakyat di Bukittinggi, Hamli akan melanjutkan studi di Belanda. Ayahandanya, Sutan Bendahara dan Mamaknya, Baginda Raja mengusahakan Hamli berangkat ke Belanda. Ibu Hamli, Siti  Anjani, melarang anaknya ke Belanda. Pikirannya Hamli akan terpikat dengan gadis barat mendorongnya tidak mengijinkan anak laki-laki semata wayangnya merantau ke benua Eropa. Daripada jauh-jauh ke Belanda, Hamli diusulkan menuntun ilmu ke pulau Jawa saja yang lebih dekat dari rumah. 

Hamli mempunyai darah bangsawan Padang. Dari pihak ayahnya yang masih famili dari Istana Pagaruyung dan pihak ibunya yang mempunyai darah bangsawan Jawa. Dengan status sosial dan pendidikannya,Hamli adalah calon menantu idaman yang diperebutkan Ibu-ibu di Padang. Pernikahan menurut adat kaummnya merupakan urusan orang tua dan ninik mamaknya. Anak hanya menuruti keinginan dari orang tua dalam hal jodoh. Selain itu, Hamli sudah ditunangkan dengan anak Mamaknya. 

Hamli mempelajari ilmu pertanian di kota Bogor. Ia berangkat ditemani neneknya, Khatidjah, yang sejak kecil menemaninya kemana-mana. Hamli mempunyai penyakit 'pilu' yang membuatnya kadang teramat sedih dan tidak sadar dengan keadaan sekitar. Neneknya khawatir jangan sampai cucu kesayangannya menjadi gila atau lebih parah bunuh diri. Obatnya ada pada Din Wati, seorang wanita Sunda yang menawan hati Hamli. Keduanya saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah.

Pertentangan hubungan keduanya pertama-tama berasal dari keluarga Din Wati. Din Wati berasal dari bangsawan Sunda. Pengalaman keluarganya yang pernah menikah dari pulau seberang membuat mereka tidak mau mengulangi hal yang sama. Pernikahan dilangsungkan secara sederhana. Keluarga Hamli di Padang tidak diberitahu untuk menghindari kegaduhan. 

Sayangnya,berita Hamli menikah dengan Gadis Sunda di Bogor sampai juga ke telinga ibundanya dan membuat heboh ninik mamaknya. Hamli dianggap telah mencoreng arang di kening ninik mamaknya. Apa tidak dianggap lagi Ibu dan Ninik Mamaknya? Ibunda Hamli menghadapi serangan dari keluarganya sendirian. Adiknya Baginda Raja malah memutuskan tali kekeluargaan karena Hamli kemenakan yang ia sekolahkan menikah dengan orang lain bukan dengan anaknya.


"Laki-laki Padang tak diizinkan kawin dengan perempuan yang bukan masuk suku Padang. Dipandang sangat hina apabila seorang laki-laki, lebih-lebih perempuan, kawin dengan orang yang berasal dari daerah lain." - (hal 155) 

Berasal dari daerah dan budaya berbeda membuat rumah tangga Hamli dan Din Wati pun sering diguncang prahara. Hasutan dan fitnah datang dari pihak kedua belah keluarga yang tidak senang yang masing-masing mereka mempunyai kepentingan terhadap Hamli ataupun Din Wati. Seorang Datuk Sati diupah untuk mencelakai Din Wati lewat Gasiang Tangkurak. Belum lagi pinangan agar Hamli mau mengambil istri kedua dari gadis Padang yang selalu datang. Hamli bersikukuh tidak mau memadu Din Wati. Begitupun Din Wati tidak rela dimadu oleh suaminya. Lamaran datang ke Ayahanda Hamli, ditolak. Lalu pinangannya dialihkan ke Ibunda Hamli,ditolak. Hingga bujuk rayu kepada Din Wati agar mau merelakan suaminya menikah kembali. Puncaknya Hamli dibuang secara adat oleh kaumnya. Dibuang secara adat berarti tidak diakui secara tali kekeluargaan, hilang hak atas harta warisan, dan tidak boleh menginjakkan kaki di kampung halaman. 

-------

Marah Rusli adalah penulis dari roman Sitti Nurbaya, sebuah kisah yang jadi legenda tidak hanya untuk daerah Padang tetapi juga Indonesia. Marah Rusli menuliskan roman Sitti Nurbaya sebagai caranya memprotes kekakuan adat Minang. Di kota Padang berdiri jembatan yang diberi nama Jembatan Siti Nurbaya. Marah Rusli dijuluki Bapak Roman Indonesia oleh H.B Jassin. Selain Sitti Nurbaya, karya-karya dari Marah Rusli antara lain 'La Hami' dan 'Anak Kemenakan'. 'Memang Jodoh' merupakan kisah semiautobiografi dari penulis sendiri, Marah Rusli, maka kita kembali ke konteks saat itu yang masih kuat memegang tradisi. Memang betul, jaman dahulu laki-laki minang sangat lazim melakukan poligami. Beristri dua atau tiga menunjukkan kebesaran dari laki-laki. Pandangan Marah Rusli terhadap poligami sangat jelas di 'Memang Jodoh' ini, ia menolak untuk memadu istrinya. Namun seiring dengan jaman mungkin urusan pernikahan Minang sudah tidak sesangklek dahulu.

Namun preferensi pernikahan orang minang dengan orang minang menurut saya masih ada sampai saat ini. Mengapa? Jawabannya terdapat juga dalam novel ini. "Bagaimana jadinya negeri Padang, jika telah ditinggalkan oleh anak-anaknya kelak? Siapa yg akan mengurus negeri dan harta pusaka yang tersimpan itu? Siapa yang akan mengerjakan sawah dan ladang yang terbengkalai? Tidakkah semuanya itu akan jatuh juga ke tangan orang lain apabila tak ada yang mengurus dan memeliharanya?" (hal 172-173). Anak-anak yang merantau dikhawatirkan orang tua tidak kembali ke kampungnya, melupakan orang tua yang ditinggalkan di kampung, melupakan adat istiadatnya. Tidak ada salahnya jika menikah dengan sesama suku Minang namun harus diingat bahwa jodoh tetap lah kuasa yang Illahi. Jodoh tidak bisa dipaksakan, sekeras dan sekuat apapun usaha manusia menalikannya. Jika bukan jodohnya ya tidak akan jadi. Bukankah masing-masing manusia sudah dituliskan siapa jodohnya di Lauh Mahfudz ?

4 comments:

  1. Wah, udah dibaca aja...
    Aku masih nunggu antrian baca. Huehehe

    ReplyDelete
  2. “Bagaimana kau dapat bekerja dengn baik untuk bangsa dan negara, kalau akau selalu dibisingkan dengan perkara kawin saja? Sedangkan hatiku rasanya penuh cita-cita untuk memperbaiki yang belum sempurna dan menambah yang masih kurang.” (Marah Hamli)

    Ulasan yang bagus! Tahniah.

    - Salam dari Malaysia

    ReplyDelete

Thank your for leaving comment. :)