Korupsi by
Pramoedya Ananta Toer
My rating:
4 of 5 stars
Kemiskinan adalah kutukan bagi hati yang tidak sederhana
Telah dua puluh tahun Bakir menjadi pegawai. Bapaknya dulu pegawai,begitu juga kakeknya. Dahulu menjadi pegawai negeri adalah suatu kehormatan. Bakir memiliki empat anak bernama Bakri, Bakar, Basir dan Basirah. Bakir berharap anaknya menjadi pegawai seperti dirinya sehingga ia namai anak mereka dari huruf B. Semakin hari kebutuhan hidup semakin banyak. Bagian depan rumahnya sudah disewakan pada orang. Kendaraan yang ada hanya sepeda tua yang berkarat. Kenaikan gaji pegawai setiap tahun tidak menutupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Anak-anak Bakir akan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Kegelisahan Bakir memikirkan biaya sekolah anak membuat pikirannya tak tenang. Ia melihat kawan-kawannya yang mujur dalam kehidupan. Orang-orang yang pernah menjadi bawahannya bisa lebih makmur dari dirinya. "
Apakah yang bisa diperolehnya dengan kejujurannya itu? Paling sedikit seratus orang telah menyesalkan kejujuranku yang tidak menghasilkan apa-apa ini". Terniatlah dalam hati Bakir satu kata, Korupsi!
Korupsi pertama yang dilakukan Bakri adalah mengambil persediaan alat tulis kantor dan menjualnya ke Tauke di Pasar Tanah Abang. Tauke hanya menghargai barang ‘kutipan’ tersebut sebesar Rp 20. Di rumah istrinya terkejut ketika Bakri memberikan uang tersebut. Istri yang telah mendampinginya selama 15 tahun seakan-akan bisa mencium niat korupsi Bakir. Istri Bakir mengutarakan ketakutan jika suatu hari membaca nama suaminya di koran-koran sebagai koruptor. Bakir menantang istrinya,
“Kalau aku mau korupsi, apa engkau mau berkata?”. Istrinya berusaha mengingatkan Bakir tetapi ia tidak mengacuhkannya. “
Kalau benteng kejujuranmu telah tembus untuk pertama kali. Engkau akan menyerah. Terus menyerah pada nafsu-nafsumu dan engkau tidak akan dapat memiliki bentengmu lagi. Cuma tenaga di luar dirimu saja yang bisa menolongmu”.
Bakri mulai melihat kesempatan apa yang bisa ia manfaatkan dari pekerjaannya. Di kantor Bakri dibantu oleh Sirad,anak muda yang berhati lurus. Sirad sudah seperti anak sendiri yang sering datang berkunjung ke rumahnya. Perubahan sikap Bakri dirasakan Sirad. Pekerjaan yang biasa dilakukan Sirad diambil alih oleh Bakri. Bakri mulai menjauhi orang-orang yang tadinya akrab di tempat kerja. Ia menjadi sensitif dengan gelagat sekitarnya. Ia diliputi kecemasan bagaimana kalau ada yang menyadari tindakan korupsinya. Berikutnya Bakri memanipulasi pembelian kerja sama dengan tauke yang sama. Kali ini jumlah uang yang diterimanya sangat besar.
Setelah mendapat tentangan keras dari istri, Bakir mulai melirik gadis yang sering ada di lamunannya, Sutijah. Sutijah, yang berusia 20 tahun, hidup berdua dengan ibunya di kawasan kumuh. Bakir memberikan uang korupsinya pada Tijah. Gadis polos yang telah mencecap kekejaman hidup akhirnya luluh dalam rayuan rupiah. Bakir meninggalkan istri dan empat anaknya dan menikahi Tijah. Mereka tinggal di rumah yang besar di kawasan puncak Bogor. Perubahan Bakri sekarang nampak jelas. Dandanannya semakin perlente. Sepeda tua berganti dengan mobil Plymouth. Kemeja selalu buatan luar negeri. Penduduk di sekitar rumah menghormatinya karena ia tidak pelit mengeluarkan uang untuk bantuan sosial.
Dalam cerita Bakir,korupsi dimulai dari tindakan sederhana. Dari uang yang kecil lama-kelamaan nilainya berkali-kali lipat. Sudah jelas memanfaatkan kekuasaan atau jabatan demi keuntungan pribadi tapi kenapa koruptor tidak merasa bersalah. Pram menuliskan dari sudut pandang Bakri, si Koruptor. “
Kalau aku terima uang sebagai tanda terima kasih, apa salahnya? Itu bukan pelanggaran dan juga bukan kejahatan. Dia beri aku sebagai perseorangan kepada perseorangan. Apa salahnya.” Bakir sebenarnya dikelilingi oleh orang-orang yang jujur yaitu Istri dan Sirad. Keserakahan menjauhkannya dari mereka. Dan keserakahan pula lah yang akan menyeretnya jatuh.
Korupsi ditulis Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1954. Lima puluh Sembilan tahun berlalu korupsi masih menjadi persoalan bangsa Indonesia. Hampir setiap hari berita korupsi selalu ada di media massa seakan tidak ada habisnya. Begitu parah kah tingkat korupsi Indonesia? Malu dan Hati Nurani adalah dua hal yang telah hilang dalam diri koruptor karena seperti yang dialami Bakir selalu ada pembenaran dalam tindakannya.
Membaca korupsi ini seakan terbayang-bayang dengan novel korupsi karya Tahar Ben Jelloun. Penulis asal Maroko memang menulis novel berjudul sama karena terinspirasi dengan karya Pram. Karena saya membaca novel Tahar Ben Jelloun terlebih dahulu,saya bisa menduga alur ceritanya tapi saya tetap penasaran apa kata Bung Pram tentang korupsi. Kedua cerita ini semakin menegaskan korupsi tidak mengenal usia, batas geografi, pekerjaan dan partai politik. Yang terakhir ini lagi 'happening' di pemberitaan seminggu terakhir.
Pesan Pram dari novel Korupsi jelas: jangan korupsi !
‘Kalau hanya karena kekurangan belanja, mereka bisa cari kerja lain yang lebih menguntungkan dan tidak menjadi tikus. Tikus! Tikus yang terus menerus merusak sampai akhirnya datang kucing menerkamnya’.
Baca juga review Korupsi - Tahar Ben Jelloun
disini.