Pages

Friday, October 1, 2010

The Year of Living Dangerously

The Year of Living Dangerously The Year of Living Dangerously by Christopher J. Koch

My rating: 3 of 5 stars


Sebenarnya sudah lama membeli buku ini karena stuck di tengah,akhirnya buku ini dikembalikan ke rak to-read. Setiap pagi sebelum berangkat kerja biasanya aku memandangi rak buku kira-kira buku mana yang akan menemani perjalanan ke kantor. Beruntung,buku ini kembali terpilih untuk dibaca. Momennya juga pas dengan peringatan 30 September 1965 dan aksi protes ‘Ganyang Malaysia’ yang kembali populer akhir-akhir ini.

Guy Hamilton, wartawan Australia ditempatkan di Jakarta pada masa-masa ‘ vivere pericoloso’,yang merujuk kepada pidato Presiden Soekarno. Dia bergabung dengan wartawan-wartawan asing lainnya di klub wayang di Hotel Indonesia. Seorang juru foto bernama Billy Kwan menemaninya bertugas. Billy merupakan blasteran cina - australia. Secara penampilan fisik kedua rekan kerja ini seperti raksasa dan kurcacinya. Hamilton tinggi besar dan Billy pendek. Walaupun sering diledek dengan anggota klub wayang lainnya, Hamilton tidak ambil pusing.



Wartawan sebelum Hamilton tidak meninggalkan informasi apa-apa mengenai kontak-kontak di pemerintahan. Atas jasa Billy lah yang membuka jalan buat Hamilton, Ia mewawancarai D.N. Aidit. Wawancara yang eklusif karena sebelumnya Aidit tidak pernah berbicara kepada wartawan barat. Di kesempatan tersebut Aidit menegaskan perlunya angkatan kelima yaitu petani yang dipersenjatai. Indonesia yang menganut politik bebas aktif pada masa itu sedang condong ke pihak Rusia-Cina. Pengaruh dari partai komunis sedang berada di puncak dengan menjadi partai komunis ke-3 terbesar di dunia. Hal ini menjadi kekhawatiran dari bangsa-bangsa barat. Salah satu sumber rahasia menyebutkan kapal bantuan penuh senjata dikirimkan ke Indonesia untuk mempersenjatai angkatan kelima. Sementara hubungan dengan negara serumpun berada di ambang perang. Semboyan ‘Ganyang Malaysia’ dipekikkan namun tidak terlaksana.

Bill mempertemukan Hamilton dengan Jill Bryant, staf dari kedubes Inggris. Bill mencintai Jill dan ia telah melamar wanita itu, tapi ditolak. Hubungan Hamilton dan Jill berkembang menjadi serius, keduanya jatuh cinta. Yang lebih menarik diperhatikan adalah Bill Kwan.Ia mempunyai arsip masing-masing temannya. Awalnya ia memuja Presiden Soekarno. Kegemarannya pergi ke pasar baru malam-malam berharap bertemu Bung Karno yang konon ‘turun’ ke khalayak ramai untuk lebih dekat dengan rakyatnya. Penantian Bill tersebut membawanya ke sosok Ibu yang memakai kebaya lusuh dan menggendong bayinya. Ia mengikutinya hingga ke gubuk-gubuk kumuh. Potret kehidupan rakyat miskin kota menyadarkan Billy bahwa idolanya Soekarno tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia masih saja membangun monumen ini-itu padahal rakyatnya kelaparan. Salah satunya yang membuat aku bergidik yaitu didalam salah satu pidatonya Soekarno menyarankan tikus ke dalam menu makanan..hiiiiiii..

Di malam pertamanya di Indonesia, Hamilton mendapati secarik kertas yang memberitahunya asisten Indonesianya, Kumar, adalah agen komunis. Suatu kali, Hamilton diajak berlibur ke Tugu oleh Kumar. Tanpa disangka Kumar mengajak atase kebudayaan kedubes Rusia, Vera Chostiakov. Sosok misterius Kumar pelan-pelan terbuka, ia bisa berbahasa Rusia dan pernah kuliah di Universitas Leningrad. Billy marah terhadap Hamilton. Ia berpendapat Hamilton mengkhianati Jill dan Vera mendekatinya karena menginginkan informasi kedatangan kargo senjata-senjata itu.

Pada peristiwa 30 September, Hamilton yang masih merisaukan hubungannya dengan Jill tidak menyadari keadaan telah berubah bagi Soekarno dan partai komunis. Dalam perjalanannya ke kantor Kolonel Henderson, atase militer kedubes Inggris, mencegatnya dan memberitahunya agar ke Istana Merdeka yang sudah dikelilingi tentara-tentara. Hamilton berharap dengan kartu pers dia bisa memasuki daerah Istana. Langkahnya dihalangi oleh tentara. Hamilton kurang bisa berbahasa Indonesia dan tentara tersebut tak mengerti bahasa Inggris. Popor senjata mengenai mata Hamilton. Beruntung,ia diselamatkan oleh kolonel Henderson ke kedubes Inggris.

Buku ini sempat dilarang beredar di Indonesia oleh rezim orde baru. Diibaratkan adanya pertempuran wayang dari golongan kiri dan wayang golongan kanan. Wayang golongan kiri menghabisi jenderal-jenderal dari wayang golongan kanan. Yang dimenangkan oleh Mayjen Soeharto yang berasal dari wayang golongan kanan yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Dan penggambaran peristiwa 30 September di buku ini tidak berbeda dengan propraganda orba. Jenderal-jenderal yang diculik, disiksa habis-habisan, matanya dicukil Gerwani dan dimutilasi. Aku jadi teringat film yang dulunya diputar setiap tanggal 30 September. Kontraversi dari pemberontakan 30 Sepetmber tersebut masih bergulir hingga hari ini. 45 tahun adalah waktu yang cukup lama dan kebenaran masih tersembunyi entah dimana.

-1 Oktober 2010-

View all my reviews

No comments:

Post a Comment

Thank your for leaving comment. :)