Pages

Tuesday, December 29, 2009

The Good Earth - Pearl S.Buck

The Good Earth : Bumi yang SuburThe Good Earth : Bumi yang Subur by Pearl S. Buck

My rating: 4 of 5 stars


Wang Lung, seorang petani kecil yang miskin. Ia hidup berdua dengan ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Semenjak Ibunya meninggal, Wan Lung mengurus keperluan rumah dan merawat Ayahnya. Ia telah bangun sedari subuh, membawakan air hangat untuk ayahnya dan bersiap-siap ke sawah. Ia menikah dengan budak perempuan yang sedari bekerja di rumah keluarga Hwang. Seorang petani seperti dia tidak bisa memilih istri yang lebih tinggi statusnya, yang pantas baginya hanya seorang budak. Ia hanyalah petani miskin. Istrinya tidak cantik memang tapi ia merupakan tipe wanita yang mau membantu suaminya bekerja di sawah. O-lan, istrinya telah mengurus semua keperluan rumah tangga.

Tak lama, istrinya hamil. Biarpun sedang hamil, ia tidak mengurangi beban pekerjaannya di sawah. Ia masih memasak dan menyiapkan makanan untuk suami dan ayah mertuanya. O-lan sungguh luar biasa karena ia melahirkan anaknya tanpa bantuan orang lain. Anak pertamanya, laki-laki! Ketika itu, jika anak yang dilahirkan laki-laki akan disambut dengan gembira, sementara jika anak yang dilahirkan perempuan hanya membuat malu ibunya. Perempuan masih dianggap serendah budak. Wan Lung amat bangga dengan anak laki-lakinya yang montok.

Wan Lung bertani dan sepenuhnya berharap pada kesuburan tanahnya. Teknik pertanian yang masih bergantung sepenuhnya pada Alam. Ia tak lupa berdoa di kuil dewi kesuburan agar diberikan rejeki yang cukup. Keluarga itu hidup sederhana dan menghemat uang sedikit demi sedikit.

Sementara itu, Di kota terdapat keluarga yang terpandang dan kaya raya, keluarga Hwang. Tuan besar Hwang merupakan majikan O-lan dulu. Ia disegani karena memiliki tanah dimana-mana dengan rumah bak istana siapa yang tak kenal Tuan besar Hwang. Ia juga terkenal memiliki gundik yang banyak. Namun, gejala jatuhnya si Tuan besar mulai tercium. Istri tuanya yang larut dalam candu-yang mahal seperti permata. Sementara gundik-gundiknya tak habis-habisnya merengek minta ini itu. Memang hasil panennya melimpah. Tapi dengan asistennya yang korup. Uang tak tentu kemana. Dan ia menjual petak-petak tanahnya. Wan Lung berniat membeli tanah tersebut. Tabungannya cukup untuk membelinya.

Tanah Tuan Hwang memang tanah yang subur. Tanah tersebut terletak di dekat parit. Ketika panen datang, tanah itu memberikan hasil dua kali lipat dibandingkan tanahnya sendiri. Istrinya pun hamil untuk yang kedua,Anak laki-laki lagi. Betapa beruntungnya ia. Ia menyimpan hasil panennya untuk dijual di musim dingin, saat orang kaya mau membelinya dengan harga mahal. Selalu saja ada orang yang ingin iri dengan kesuksesan orang lain. Wang Lung terganjal dengan kakak Ayahnya sendiri. Pamannya termasuk petani yang kurang beruntung, yang disebabkan oleh kemalasan dia sendiri. Istri pamannya hanya mau makan enak saja. Sementara anak-anaknya lebih memilih bermalas-malasan daripada menggarap sawah mereka. Ketika permintaa pamannya yang kesekian kali tidak dikabulkan, pamannya mengecamnya.



Musim dingin datang, tak seperti biasanya, lebih dingin dan lebih panjang. Kelaparan tak terhindarkan lagi. Pamannya menghasut orang-orang desa mengatakan Wan Lung dan keluarganya menimbum bahan makanan dan mereka tak mau berbagi. Dalam keadaan lapar, betapa mudahnya manusia gelap mata. Orang-orang desa yang dipimpin Paman Wan Lung mendatangi rumahnya mengobrak-ngabrik isi rumah. Walau tak menemukan timbunan bahan makanan seperti yang dikatakan Pamannya. Orang-orang mengambil bahan makanan tersisa. Tanpa makanan dan tanpa uang, mustahil mereka bisa melewati musim dingin tersebut dengan hidup-hidup. Sementara istrinya hamil untuk sekian kalinya. Ia telah memutuskan untuk pergi ke Selatan. Konon, kota di Selatan memiliki nasi yang dibagi-bagikan. Perabotan rumah terpaksa dijual dengan murah senilai dua keping perak.

Di kota Selatan, Wang Lung bekerja sebagai penarik rickshaw. Sementara, Istri dan anak-anaknya mengemis di jalanan. Uang yang terkumpulnya hanya cukup untuk makan seadanya. Mereka tinggal dengan puluhan keluarga yang senasib dan berjejalan tidur di dekat tembok gerbang kota. Sebatas tembok tersebut memisahkan mereka dengan tempat tinggal orang-orang kaya yang bagai langit dan bumi keadaannya dengan mereka. Pikiran Wang Lung selalu teringat pada sawah dan tanahnya di desa. Ia ingin pulang tapi tak ada uang. Ketika itu, anak perempuan lazimnya diperjualbelikan sebagai budak. Jika ia cukup cantik bisa diangkat anak. Satu-satunya cara adalah menjual anak perempuan mereka. Tapi Wan Lung tidak tega.

Ancaman perang semakin dekat. Di jalanan, tentara-tentara mengambil laki-laki untuk dimajukan ke medan perang. Suasana sudah jauh berubah. Dapur umum ditutup. Toko-toko dipalang besi. Pergolakan sosial juga terjadi secara kasat mata. Orang-orang miskin berkerumun di gerbang dan berhasil merobohkannya. Wang Lung terbawa arus masuk ke kompleks mewah. Orang-orang mulai merusak dan menjarah. Wang Lung yang kebingungan mendapati Tuan Besar yang ketakutan dan ditemani gundiknya. Tuan besar tersebut menawarkan sejumlah uang asalkan nyawanya tidak ikut melayang menyusul hartanya yang pergi. Wang Lung keluar dengan segenggam uang. Dan tanpa menunggu lama membawa keluarganya pulang ke desa.

Musim dingin digantikan musim semi. Ia kembali membangun rumahnya yang terbengkalai lama. Ia menanami sawah dan tanahnya. Lagi-lagi, Istrinya hamil dan melahirkan anak kembar sepasang, laki-laki dan perempuan. Secara total, Wan Lung memiliki 3 putra dan 2 putri. Sayangnya, putri pertama yang tak jadi dijual masih tak bisa berbicara dan ia pun menyadari mental putrinya agak terbelakang.

Tak disangka-sangka, istrinya menyimpan sekantong permata. O-lan mendapatkan permata tersebut ketika penjarahan itu terjadi di Selatan. Ia melihat bungkusan tersebut tersembul dari dinding yang retak. Wan Lung takut menyimpan permata-permata tersebut. Ia pergi ke kota. Kebesaran Tuan Hwang sedikit lagi tinggal sejarah. Suatu malam, ada perampokan besar-besaran di rumah itu. Perampok membawa barang-barang berharga, wanita-wanita yang ada, dan menyisakan si Tuan Besar sendiri. Tuan besar Hwang tinggal ditemani gundiknya yang selamat. Wan Lung menukar sekantong permata dengan tanah-tanah Tuan besar Hwang. Sekejap, Wan Lung telah berubah menjadi tuan tanah. Hasil panennya berlipat-lipat. Keping-keping uangnya terus bertambah. Ia juga mengirimkan dua putranya untuk bersekolah. Mereka tidak perlu membantu di sawah karena Wan Lung sekarang mengupah orang lain untuk mengerjakannya.

Dengan kehidupannya yang baru, untuk pertama kalinya ia memperhatikan istrinya. Ia menyadari istrinya tidak merawat penampilannya. Istrinya yang telah melahirkan enam anaknya memiliki tubuh yang semakin besar. Wajah istrinya memang tak menarik. Istrinya memang pendiam,tapi ia setia kepada suami. Ia telah memberika tiga anak laki-laki untuknya. Inilah awal penyimpangan Wan Lung. Ia mulai mengunjungi kedai minuman dan terpikat dengan wanita cantik dan mungil, Lotus. Ia tergila-gila dengannya. Wanita yang mustahil ia dapatkan kini sudah ada di depan matanya, tentu saja karena dia punya banyak uang. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Wan Lung luluh dengan semua permintaan Lotus. Ia lupa anak istrinya. Keping-keping uangnya mengalir seperti air, terbuang sia-sia untuk kesenangan permata hatinya yang baru.

Puncaknya, Wan Lung memboyong Lotus ke rumahnya. Ia membayarkan sejumlah uang untuk membebaskan Lotus dari kedai minuman. Lotus memiliki ruangan yang terpisah di bagian belakang rumahnya. Istri pertamanya dongkol setengah mati. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, ia menyadari dirinya yang tak menarik dan tak bisa disandingkan dengan gundik suaminya. Ia sabar dan tak banyak bicara mengerjakan tugasnya sehari-hari. Ada rasa malu di hati Wan Lung berhadapan dengan O-lan. Sayangnya, rasa malunya dikalahkan dengan cinta yang menggelora kepada Lotus. Sementara, sang suami masih terlena dengan istri barunya. O-lan menyadari kekuatannya mulai menurun, ia pun sakit parah. Saat-saat itu, Wan Lung setia mendampingi istrinya. Ia bersedia menjual tanahnya untuk kesembuhan O-lan. Tapi istrinya menolak. Istrinya meninggal setelah putra sulung mereka menikah. Dan tak lama kemudian Ayahnya sendiri meninggal.

Kedudukan Wan Lung sekarang cukup disegani. Putra pertamanya seorang sarjana dan yang lebih muda sukses sebagai pedagang. Putranya menilai status mereka tidak cocok lagi tinggal di desa. Akhirnya mereka pindah ke kota. Ke rumah yang dulunya didiami keluarga Hwang. ”Wang si petani” kini dipanggil ”Wang si Tuan Besar”. Wang Lung menikmati masa tuanya di sana. Masa tenangnya seringkali diganggu oleh percekcokan menantu-menantunya. Putra-putra Wan Lung tampaknya telah lupa pada ”akarnya”. Sekalipun, Wan Lung sudah kaya tinggal dirumah besar di kota dan cukup disegani orang banyak. Ia tetap merasa orang desa. Ia petani yang memetik panen dari bumi yang subur. Sementara, Putra-putranya tak cukup puas dari uang hasil panen dan mulai berpikir menjual tanah.

Suatu ketika, Wan Lung mengikuti kedua putra yang berbisik-bisik membicarakan sesuatu dan ia menjadi murka. Karena anak-anaknya ingin menjual tanahnya. Ia tak rela menjual tanahnya, ”sebuah keluarga akan habis riwayatnya,kalau mereka sudah mulai menjual tanah-tanahnya. Kita berasal dari tanah dan kita mesti kembali lagi ke situ. Dan kalau kalian masih mau mempertahankan tanah itu, kalian bisa hidup terus-tak ada orang yang bisa merampas tanah begitu saja. Kalau kalian menjual tanah-tanah itu,tamat sudah riwayat kita”

View all my reviews

No comments:

Post a Comment

Thank your for leaving comment. :)