My rating: 5 of 5 stars
Perjalanan
hidup Mochtar Lubis tidak bisa dilepaskan dari perkembangan jurnalisme dan
politik di Indonesia. Sebagai pemimpin redaksi harian Indonesia Raya,ia
menetapkan namanya sebagai lambang kebebasan pers di Indonesia. Mochtar Lubis
tidak gentar dengan pembredelan harian Indonesia Raya karena tajuk-tajuk yang mengkritik
pemerintah. Sebagian kisah hidupnya telah saya baca di buku 'Mochtar Lubis :
Wartawan Jihad'. Saya tidak mengulas yang
pernah saya bahas di review ‘Mochtar Lubis : Wartawan Jihad’ mengenai jatuh
bangunnya harian Indonesia Raya dalam masa pemerintahan Orde Lama (1949 -1956) dan
Orde Baru (1968 – 1974). Di dalam buku ini terdapat pendapat dari
orang-orang yang mengkritiknya,menghadirkan sisi lain dari Mochtar Lubis yang
saya ketahui.
priceless :')
Mochtar Lubis dikenal sebagai penganut garis keras yang berpendirian tanpa kompromi dalam melawan Soekarno. Sejak hari-hari revolusi, Mochtar Lubis tidak suka dengan Bung Karno. Ia mengkritisi dukungan Soekarno pada penjajahan Jepang terhadap romusha yang menghimpun tenaga kerja Indonesia bekerja di luar negeri. Pasca perang dunia kedua merupakan awal dari perang dingin antara blok timur dan blok barat. Indonesia yang menyatakan diri dalam kelompok non blok tidak luput dari pendekatan masing-masing blok. Presiden Soekarno memperlihatkan kecondongan ke arah blok timur. Mochtar Lubis walaupun tidak pernah aktif dalam partai politik mana pun mengakui pengaruh Sjahrir pada dirinya. Semasa pemerintahan Soekarno, Mochtar Lubis mendekam dipenjara selama 9 tahun tanpa pengadilan. Selain itu, Mochtar memandang Soekarno sebagai penganut hubungan seks tanpa pandang bulu,egois,irasional dan oportunis dalam politik. Karakter Soekarno dapat ditemukan pada karakter tokoh-tokoh dalam karya fiksinya.
Sewaktu sekolah
di sekolah ekonomi INS Kayutanam, Mochtar Lubis muda pernah menyatakan
ketertarikannya pada paham komunis. Gurunya mengatakan bila kaum komunis
berkuasa di daerahnya, bapaknya akan menjadi orang pertama yang akan mereka
bunuh. Ayah Mochtar Lubis, Raja Pandapotan Lubis, adalah pribumi elit yang
bekerja untuk pemerintah kolonial dan akan menjadi sasaran awal kaum komunis.
Di perkembangan hidup selanjutnya, Mochtar Lubis menentang komunisme seumur
hidup.
Jika berbicara mengenai Mochtar Lubis, ada satu sastrawan yang bersiteru dengannya yaitu Pramoedya Ananta Toer. Kedua pengarang ini berada dalam pandangan politik yang berseberangan. Mochtar terlibat dengan organisasi-organisasi blok barat dengan simpati Amerika,Pramoedya mengembangkan sikap nasionalis radikal dan tanggung jawab ke arah kiri serta membimbingnya bergabung dengan Lekra (Hal 229). Mochtar Lubis mendapat penghargaan Magsasay (Nobel Asia) dalam bidang jurnalistik pada tahun 1958. Pram menuduhnya 'kaki tangan kaum imperealis'.
Jika berbicara mengenai Mochtar Lubis, ada satu sastrawan yang bersiteru dengannya yaitu Pramoedya Ananta Toer. Kedua pengarang ini berada dalam pandangan politik yang berseberangan. Mochtar terlibat dengan organisasi-organisasi blok barat dengan simpati Amerika,Pramoedya mengembangkan sikap nasionalis radikal dan tanggung jawab ke arah kiri serta membimbingnya bergabung dengan Lekra (Hal 229). Mochtar Lubis mendapat penghargaan Magsasay (Nobel Asia) dalam bidang jurnalistik pada tahun 1958. Pram menuduhnya 'kaki tangan kaum imperealis'.
Ketika terjadi
pembantaian dan penangkapan tahanan politik pasca peristiwa 30 September 1965,
Arif Budiman dan Soe Hok Gie mendesak agar diberikan amnesti bagi tahanan
golongan C yaitu mereka yang digolongkan tingkat keterlibatannya paling rendah
tidak perlu diadili. Mochtar Lubis kurang bersimpatik dan tidak setuju
usul kakak beradik ini. Soe Hok Gie kecewa dengan sikap Mochtar Lubis tersebut.
Pengumuman penghargaan Magsasay tahun 1995 untuk
Pramoedya Ananta Toer membuat Mochtar Lubis bereaksi keras. Penyebabnya adalah
dosa masa lalu pram yang berupa tindakan represif Pramoedya semasa aktif di
Lekra pada seniman-seniman yang tidak sepaham dengannya. Mochtar Lubis
mengembalikan hadiah Magsasay miliknya sebagai bentuk protes keras. Saya
teringat perkataan Mochtar Lubis yang diucapkan oleh anaknya di program TV One
yang pernah mengulas polemik tersebut ,'Saya tidak mau disamakan dengan
Pram'.
Buku-buku Mochtar Lubis
Mochtar Lubis aktif berpartisipasi di organisasi internasional seperti International Press Institute (IPI) dan Congress for Cultural Freedom (CCF). CCF berjasa dalam penerbitan novel 'twilight in Jakarta' dalam bahasa Inggris yang ditulis Mochtar Lubis ketika dalam tahanan. Penerbitan 'twilight in Jakarta' membuat nama Mochtar Lubis mendunia. Hal ini juga membuktikan bahwa Mochtar Lubis sanggup menembus tembok penjara Soekarno dan berbicara kepada dunia. Pada tahun 1967 terungkap ke publik fakta mengenai CCF ,yang sejak didirikan, dibiayai oleh CIA Amerika sebagai bagian perjuangan melawan komunisme dalam perang dingin dunia. Dalam wawancara dengan David T Hill, Mochtar Lubis menyatakan ketidaktahuannya perihal asal muasal dana pembiayaan CCF. CCF berubah menjadi the International Association for Cultural Freedom (IACF) dengan pendanaan dari Ford Fondation.
Pada tahun 1977, Mochtar Lubis berpidato di Pusat Kebudayaan Jakarta yang kelak dibukukan dengan judul ‘Manusia Indonesia’. Mochtar Lubis memaparkan ciri-ciri manusia Indonesia dari sisi positif dan negatif. Ciri-ciri manusia Indonesia yang positif yaitu bersifat artistik,halus, cinta damai,dianugerahi rasa humor dan kesabaran. Tidak sedikit yang tersinggung dengan ciri manusia Indonesia yang negatif yaitu munafik,bersikap feodal, percaya takhyul, berwatak lemah, tidak bisa mengambil keputusan, dan selalu tidak bertanggung jawab. Pidato ini memicu kontraversi di masyarakat. Kira-kira setelah 30 tahun lebih pidato Mochtar Lubis yang menghebohkan ini masih relevan tidak ya dengan kondisi sekarang?
Setelah keluar dari penjara, kondisi keuangan Mochtar Lubis sulit. Untuk menerbitkan kembali Indonesia Raya perlu ada jaminan keuangan. Pada tahun 1967,Ia bergabung dengan Sumitro Djojohadikusumo mendirikan Indoconsult Associates,perusahaan konsultan bisnis. Pada tahun 1969,Mochtar Lubis melakukan kerja sama dengan Airfast Services Pty,Ltd,mendirikan PT Airfast Service Indonesia. Dan pada tahun 1970, portofolio bisnisnya meluas ke bidang periklanan dengan mendirikan PT Fortune Indonesia Advertising. Usaha bisnisnya tidak berjalan mulus. Beberapa perusahaannya mengalami konflik dengan investor dan akhir dijual.
To Hally, to whom I owe a debt of love
Dibalik pria
yang sukses terdapat wanita yang hebat. Mochtar Lubis menikah dengan Siti
Halimah Kartawijaya,yang akrab dipanggil Hally. Mereka mempunyai ketertarikan
yang sama di bidang pers. Hally tabah dan kuat ketika Mochtar Lubis dipenjara
bertahun-tahun. Mochtar Lubis menuliskan besar cintanya pada Istri pada
catatan-catatannya, 'Setiap saat denganmu merupakan kebahagiaan dan
suka cita. Bertambahlah perolehannya untuk dihargai dalam kenanganku. Aku merasa
cintaku padamu senantiasa segar. Kupikir itulah keajaiban dan mukjizat cinta
sejati. Bila kau sungguh saling mencintai,maka waktu tak ada maknanya. Jarak
pun hilang artinya'. Mochtar Lubis juga sering mempersembahkan karyanya untuk
sang istri. Kisah romantisnya tidak
kalah dengan kisah cinta Habibie Ainun.
Sebagai pengagumnya, saya memiliki ketakutan tersendiri sebelum membaca buku ini. Apakah kritikan-kritikan tersebut akan membuat ‘cacat’ pada tokoh yang saya kagumi? Jujur,saya takut kecewa. Tetapi saya tidak ingin berada dalam kekaguman yang berlebihan dan membabi buta. Jarang sekali saya membaca biografi yang tidak sekadar puji-pujian terhadap tokoh yang ditulis. Hubungan David T Hill dengan Mochtar Lubis sempat mendingin ketika penulisan buku ini. Mochtar Lubis tidak menyukai label ‘liberal’ yang dituliskan David T Hill. Saya tetap salut dengan seorang Mochtar Lubis, seseorang yang mempunyai prinsip dalam jurnalisme, konsisten dengan sikap anti komunis.
Sebagai pengagumnya, saya memiliki ketakutan tersendiri sebelum membaca buku ini. Apakah kritikan-kritikan tersebut akan membuat ‘cacat’ pada tokoh yang saya kagumi? Jujur,saya takut kecewa. Tetapi saya tidak ingin berada dalam kekaguman yang berlebihan dan membabi buta. Jarang sekali saya membaca biografi yang tidak sekadar puji-pujian terhadap tokoh yang ditulis. Hubungan David T Hill dengan Mochtar Lubis sempat mendingin ketika penulisan buku ini. Mochtar Lubis tidak menyukai label ‘liberal’ yang dituliskan David T Hill. Saya tetap salut dengan seorang Mochtar Lubis, seseorang yang mempunyai prinsip dalam jurnalisme, konsisten dengan sikap anti komunis.
Saya jadi bersemangat
menuntaskan buku-buku Mochtar Lubis yang belum dibaca. :)