Judul : Jamangilak Tak Pernah Menangis
Penulis : Martin Aledia
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2004
Perempuan
itu berdiri di tengah sungai yang sudah tidak bening lagi dan baunya yang
menyengat. Molek namanya, istri dari Jabosi. Molek kerap mengamati sungai
selama berjam-jam. Sungai yang membawa pasir semakin banyak dari hulu. Sungai
semakin dangkal dan kota kecilnya terancam tenggelam. Ia melemparkan pasir ke
tepian. Suatu tindakan yang dianggap sia-sia dan sedikit gila bagi yang melihat
dan tidak mengetahui maksudnya. Jarebosi sedang bersiap meninggalkan rumah demi
mencari harapan baru, tidak ada yang bisa diharapkan lagi di kota tersebut.
Molek tidak bergeming untuk ikut dengan suaminya.
"Tak
apa-apa, biarlah aku tetap di sini. Bertahan sampai kota ini karam. Hidup cuma
sekali. Dan, kalaupun hidup datang berulang kali, aku akan tetap memilih
tinggal disini", ujar Molek saat melepas Jabosi.
Molek
sangat senang anaknya, Hurlang, pulang ke rumah. Hurlang kembali dari pulau
Jawa setelah bertahun-tahun pergi tanpa pamit pada Omaknya. Hurlang ditangkap
karena terkait dengan pergerakan kaum kiri. Hurlang sudah kenyang hidup di
penjara. Molek memberitahukan kota kecil mereka yang sudah berubah. Molek dan
Hurlang bersama-sama mengajak penduduk lainnya untuk melawan. Di Padang Bundar
Molek berorasi "Kemana kah pajak yang kita bayar ?". Rapat akbar
berakhir dengan tertib.
Buntut
dari rapat akbar di Padang Bundar adalah Molek dan anaknya diinterogasi
militer. Media massa menyiarkan berita tersebut dan Molek mendapatkan
perhatian. Hurlang sempat tertahan selama beberapa hari dan mendapat
penganiayaan dari aparat yang cukup parah.
Hurlang
si anak hilang yang telah pulang meminta maaf dan mohon ampun dari Ibunya.
Bukan jalan yang telah diambilnya yang membuat dia ditahan dan disiksa di
penjara yang disesalinya tapi perbuatan zina yang pernah dilakukan bersama
istri orang setelah lepas dari penjara yang membuatnya minta ampun. Molek marah
sekali. Hukuman buat Hurlang adalah dirajam. Molek mendapati dilema besar
karena ia yang melahirkan dan harus menjalankan hukuman mengakhiri hidupnya.
Molek dan Hurlang bersampan ke tanah rumah mereka sebelum mereka pindah ke
kota. Molek melemparkan api dan meninggalkan Hurlang menjalani hukuman setimpal
buat pezina. Molek kembali dengan hati tercabik-cabik dan mulai merasakan
hilangnya si anak bungsu. Hurlang mendapati keberuntungan, ia diselamatkan
serangga merah yang menyerbu sekujur badannya. Molek melihat serangga merah
tersebut adalah api yang melumat tubuh Hurlang dan tidak tahu anaknya masih
hidup.
Perjuangan
Molek menyelamatkan sungai membuat masyarakat di tepi Danau Toba mengharapkan
bantuannya. Pabrik pengolahan bahan kertas yang terletak di mulut Danau Toba
telah mencemari lingkungan sekitar. Pabrik tersebut persis berdiri di hulu
sungai yang mengalir ke kota Molak dan terancam pendangkalan. Masyarakat di
sekitar pabrik menuntut penutupan pabrik tersebut. Suara-suara protes dibungkam
dengan cepat.
Molek
berangkat ke Siraituruk seorang diri. Molek akan ikut berorasi. Sebelum orasi,
Molek pergi ke pabrik tersebut tanpa dicurigai petugas keamanan. Ia melihat,
membaui air sungai yang berbau busuk yang telah tercemar limbah beracun. Aksi
demonstrasi ini menarik dukungan hingga anak-anak sekolah mogok. Tiga pastor katolik
berdiri di barisan paling depan. Ketika mobil-mobil petugas keamanan bersenjata
datang, tiga pastor ini berdiri di tiga penjuru. Dan mereka lah yang diangkut
dan diamankan pertama kalinya. Molek dan belasan orang lainnya ikut ditangkap.
Hurlang pun ikut tertuduh sebagai provokator hanya karena ia menyusul ibunya ke
Siraituruk dan berada ditengah-tengah masa.
Buku
ini menceritakan bagaimana seorang perempuan biasa melakukan perlawanan untuk
sungai dan keberlangsungan hidup kotanya. Sungai yang semakin dangkal akan
membuat kota tempat tinggalnya terancam karam.
Molek adalah perempuan yang gigih dan tegas, sekalipun menyangkut anak
kandungnya sendiri. Budaya Batak dan Melayu terasa kental di cerita ini. Perjalanan
hidup Hurlang sebagai aktivis politik kiri tidak lepas dari sejarah
pemberangusan anggota PKI pasca peristiwa tahun 1965. Ada dua peristiwa yang
menjadi latar belakang kisah ibu dan anak ini. Pertama, peristiwa tahun 1965
yang diceritakan melalui kisah hidup Hurlang. Kedua, protes terhadap pabrik
pengolahan kertas di Danau Toba yang merusak lingkungan sekitar.
Kenapa
judulnya bisa Jamangilak Tak Pernah Menangis ? Jamangilak adalah kakek dari
Jabosi yang pertama kali datang ke kota tersebut. Ia dikenal orang yang pantang
menyerah. Ketika Molek dan Hurlang bertemu di pengadilan. Molek menangis dan
Hurlang berkata, "Jangan menangis. Kuatkan hati kita di depan mereka.
Ingat, Omak sendiri yang mengatakan kakek-buyutku, Jamangilak, tak pernah
menangis dalam hidupnya, mengembara dengan berjalan kaki dari pantai barat di
tanah Batak ini menuju tepian Selat Malaka".
tadi pertama baca judulnya kirain semacam plesetan dari "jaman gila" hehehe... budaya danau toba nih menarik ya... deket kampung halaman mamaku hihih
ReplyDeleteIya, aku pikir pertamanya juga gitu. Eh ternyata itu nama orang. Hihihi.
DeleteJadi ini tuh historical fiction gitu juga yaaa?
ReplyDeleteiya. menyangkut peristiwa 1965.
Deletewahah terus kabar suaminya, ngga ada lagi, ya , zi? lebih ditekankan ke Molek dan anaknya?
ReplyDeleteSuaminya selama merantau sama sekali engga kasih kabar. Jadi fokus ke Molek dan anaknya.
Delete