Judul
: Mati Baik-baik, Kawan
Penulis : Martin Aleida
Penerbit : Ultimus
Tahun Terbit : 2014
Kumpulan cerpen Mati Baik-baik, Kawan terdiri
dari tiga belas cerpen yang menceritakan pahit dan getirnya kehilangan orang
yang dicintai, harta benda yang dirampas semena-mena, kesempatan, dan harapan
hidup orang-orang yang dituduh terlibat dalam peristiwa 1965. Efek dari
peristiwa yang terjadi akhir di September telah kita rasakan selama 32 tahun
berlangsungnya pemerintahan orde baru. Stigma semua yang berbau kiri adalah
jahat masih belum bisa hilang. Jutaan orang tumpas. Jasadnya dicampakkan
ke sungai dan laut. Yang luput dari maut dimasukkan dari penjara ke penjara,
disiksa hingga batas kesadaran manusianya hilang, dan dibuang ke pulau yang
terpencil selama bertahun-tahun. Cap negatif lekat juga pada kerabat yang
ditinggalkan. Istri yang tidak mengetahui kegiatan politik suaminya dan anak-anak
yang dibesarkan tanpa ayah ikut menanggung hukuman sosial, dikucilkan dan
diasingkan dalam masyarakat.
Mangku
Mencari Doa di Daratan Jauh
Cita-cita
Mangku adalah mati jauh dari tanah kelahirannya. Ia yatim piatu. Ayahnya petani
yang tewas setelah peristiwa 1965. Mangku masih beruntung bisa selamat karena
air mata kanak-kanaknya membuat jatuh iba tuan tanah. Mangku memilih untuk
pergi ke Lampung, daerah yang penduduk Bali. Dengan seekor anjing dan kera,
Mangku berangkat menuju tanah Sumatera.
Tanpa Pelayat dan Mawar Duka
Seseorang yang meninggal dunia tapi tak
satupun orang mau menggalikan kubur untuknya. Semasa hidup ia menjadi informan
pemerintah untuk menangkap teman-teman satu organisasi dahulu bahkan ia pun
ikut interogasi.
Leontin Dewangga
Di depan istrinya yang sedang kritis,
Abdullah membeberkan pengakuan masa lalunya sebelum mereka menikah. Abdullah
pernah ikut dalam organisasi terlarang. Ternyata sang istri pun menceritakan
rahasia hidupnya dari liontin kecil.
Ode
untuk selembar KTP
Kisah
Iramani, perempuan tua yang berusia 72 tahun, mendapatkan identitas yang baru.
Selembar kartu tanda penduduk yang polos tanpa tiga huruf yang sebelum ada di
lembar identitas lamanya. Tiga huruf tersebut membekas dari perjalanan hidupnya
dari penjara ke penjara. ETP,eks tahanan politik.
Dendang
Perempuan Pendendam
Ketika Pakde Suto mati, berkali-kali tukang kubur mencangkul tanah agar pas dengan jenazah. Pakde Suto mencaplok
sawah keluarganya sedikit demi sedikit selama empat puluh tahun sehingga
berkurang seluas dua ratus meter persegi. Sementara keluarga yang harus
dihidupi ada sebanyak delapan anak. Keluarganya tidak bisa berbuat-buat apa selain menahan geram. Ayah mereka dibantai juga karena Pakde ini yang membocorkan rahasia pelariannya setelah peristiwa 1965. Jenazah Pakde Suto yang ditolak tanah akibat dari ulah semasa hidupnya.
Melarung
Bro di Nantalu
Bro
memenuhi undangan dari Tiongkok untuk menjadi guru Bahasa Indonesia beberapa
tahun sebelum tahun berdarah itu. Revolusi kebudayaan melanda Tiongkok tapi ia
tidak bisa pulang ke tanah air. Bro tersingkir ke desa dan melakukan bertani.
Bro melarikan diri hingga ribuan kilometer sampai kota Paris. Di Paris, Bro
membuka restoran masakan Indonesia yang menjadi tempat pertemuan orang-orang
yang hidup dalam eksil. Restorannya pun tak luput dari mata-mata yang dulunya
rekan satu partai yang berbalik mengkhianati teman-temannya. Bro meninggal
dunia tak sempat menginjak tanah airnya. Jasadnya dikremasi. Abunya ditebarkan
di Paris, Amsterdam, Beijing dan Nantalu. Di Nantalu, ya, di Nantalu, yang
bermakna "yang kalah", air terus berpendar berkecipak menciumi
tebing. Tinggi-tinggi kuangkat cawan berisi sejumput abu Bro. "Tuhan,
siapa pun Kau, terimalah kawanku ini. Dia orang baik-baik, sebagaimana yang
telah Kau tentukan bagi jalan hidupnya".
Batu
-Asah dari Benua Australia
Setelah Kiswoyo keluar dari pulau Buru, ia menjadi tukang asah pisau keliling. Suatu hari ia tidak sengaja keceplosan berbahasa Jepang. Kiswoyo pernah belajar di Universitas Waseda. Ia akhirnya ditarik bekerja di perusahaan Jepang.
Setelah Kiswoyo keluar dari pulau Buru, ia menjadi tukang asah pisau keliling. Suatu hari ia tidak sengaja keceplosan berbahasa Jepang. Kiswoyo pernah belajar di Universitas Waseda. Ia akhirnya ditarik bekerja di perusahaan Jepang.
Selain
itu masih ada cerpen Malam Kelabu, Bertungkus Lumus, Salawat Untuk Pendakwah Kami,
Ratusan Mata Di Mana-mana, Perempuan yang Selalu Menggelitik Pinggangku dan Tiada
Darah di Lamalera.
Judul
kumpulan cerpen ini sangat menarik. Sekali baca akan membuat orang berhenti di
rak buku. Tapi saya tidak menemukan judul cerita "Mati Baik-baik,
Kawan". Iya, mati baik-baik, kawan merupakan penggalan kalimat dari cerpen
Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh. Belum lama ini saya selesai membaca karya
Martin Aleida yaitu Jamangilak Tak Pernah Menangis. Tema yang diangkat kurang
lebih sama yaitu seputar peristiwa 1965. Cerita-ceritanya begitu nyata karena
penulis sendiri adalah pihak yang mengalami tindakan represif orba.
nb : Cover buku sementara menggunakan cetakan pertama yang diterbitkan penerbit Akar Indonesia.
Azia.. kok kayaknya bukunya menarik yak.. :o
ReplyDeleteAku lagi cari-cari cerpen unik nih ahahah. Itu bahasanya nyastra berat atau nggak? Aku susah cernanya kalo pake bahasa yg berat2 huehehehe. >.<
Bahasanya engga terlalu berat sih menurutku. ^^
Delete