Judul : Persiden
Penulis : Wisran Hadi
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun Terbit : 2013
Novel ini menceritakan kisah keluarga besar yang mempunyai rumah pusaka
keluarga yang dikenal masyarakat sekitar dengan nama ‘rumah bagonjong’. Ayah
Bung, Pa Tandang adalah anak laki-laki tertua. Ia mempunyai tiga saudara
laki-laki dan satu saudara perempuan yaitu Pa Mieki, Pa Ragih, Pa Rarau dan Cik
Inan. Dalam kakak beradik jika saling silang pendapat mungkin biasa
terjadi. Hubungan Pa Tandang dan adik-adiknya mengalami pasang surut terutama
menyangkut soal rumah bagonjong, yang sertifikatnya digadaikan oleh Cik Inan
tanpa memberitahu saudara laki-lakinya. Suami Cik Inan, Pa Lendo, sebagai
semenda dinilai terlalu ikut campur urusan kakak beradik. Komunikasi di antara
mereka terputus sampai-sampai tidak mau bertegur sapa.
Malati, anak perempuan
Cik Inan, kembang desa Paratingga digosipkan hamil di luar nikah oleh guru
mengajinya. Desas desus tersebut akhirnya sampai ke telinga Pa Tandang. Ia hanya
mengetahui bahwa keponakannya dipindahkan sekolah ke Yogyakarta. Berita
tersebut bagaikan petir di siang bolong. Malati telah mencoreng nama baik rumah
bagonjong. Apalagi mamak-mamaknya bukan orang sembarangan. Cik Inan dan Pa Lendo
tidak mau berterus terang mengenai Malati. Dari saudara jauh Pa Tandang
diketahui bahwa Malati sudah menikah dan melahirkan anak, namun anak tersebut
diasuh oleh Ibu dari suaminya. Malati dipisahkan dari suaminya dan baru boleh
bertemu setelah lulus kuliah sementara suaminya masih melanjutkan kuliah.
Dari masalah Malati
berkembang menjadi besar ke harta warisan, kewibawaan kaum, kepemimpinan suku, masa
lalu rumah bagonjong dan hal-hal berbau mistis. Salah satu nenek dari rumah
bagonjong ‘Sampiran’ mendatangi Pa Mikie secara gaib, ia berkata kondisi rumah
bagojong sekarang akibat termakan sumpahnya dahulu. Konon Sampiran adalah
saudara perempuan dari ibu mereka yang tidak diakui karena hamil di luar nikah dan
dibuang dari ke daerah Lubuk. Suami dari Malati masih keturunan dari Sampiran. Artinya
mereka masih satu suku. Pa Mikie mendesak Pa Tandang dan Pa Rarau untuk mencari
anak Malati. Biar mereka yang mengasuhnya karena bagaimanapun anak Malati
adalah penerus dari kaum mereka.
Penulis menyebut ‘Bung’
seakan-akan sedang berkomunikasi dengan pembaca. Novel Persiden mengemukakan pergeseran
nilai, silang pendapat kaum tua dan anak muda, kepatuhan pada adat dan
kaitannya dengan dunia modern sekarang. Dalam adat istiadat Minang terdapat pepatah
‘Anak dipangku, Keponakan dibimbing’. Sistem matrilineal dalam minangkabau
menurunkan suku dari keturunan garis ibu dan perempuan. Ketika masalah menimpa
Malati, anak perempuan Cik Inan, menyeruak tidak hanya menjadi masalah orangtua
nya saja. Pa Tandang, Pa Mieki, Pa Ragih, Pa Rarau sebagai mamak-mamak dari
Malati juga mendapat sorotan. Bagaimana sih ninik mamak kok tidak tahu menahu
kalau keponakannya sudah menikah? Apalagi kalau keadaan wanitanya sudah ‘berisi’
duluan.
Terlepas dari
pencarian Malati, Suami Malati dan Anaknya, pokok ceritanya mempertanyakan
sikap dan kedudukan ninik mamak dalam dunia yang sudah berubah dan berkembang. Seringkali
dalam penyelesaian adat istiadat masing-masing pihak mementingkan ego
masing-masing. Semisal tanah-tanah pusaka keluarga sudah dijual digantikan
dengan perbelanjaan, ruko atau perumahan. Sehingga persoalan Malati ini lebih
banyak dilihat dari sisi pemikiran mamak-mamaknya. Bagaimana perasaan Malati
sendiri yang dipisahkan dari anaknya setelah melahirkan hanya sedikit
disinggung.
Terkadang penulis
tidak hanya menyoroti masalah yang melingkupi cerita keluarga rumah bagonjong,
tetapi juga menyindir hal yang lain-lain yang membuat cerita jadi melebar. Saya
juga menangkap sindiran halus dari penamaan tokoh-tokohnya.
Saat saya melihat buku
ini yang terpikir adalah judulnya yang aneh. Seperti plesetan dari kata
presiden. Lalu saya mengenali nama penulis, Wisran Hadi, yang merupakan
sastrawan dari ranah Minang. Aha! Saya sudah lama ingin membaca karya beliau
namun belum jodoh sama karya-karyanya. Covernya unik. Gambar rumah gadang yang
didorong alat berat. Kiasan yang tepat untuk menyiratkan terjadinya pergeseran
nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau di dalam cerita.
Setelah membaca novel
ini tertinggal sebuah kalimat di dalam pikiran saya.
“Apa kau benar-benar mau jadi orang modern dengan meninggalkan segala yang ada dalàm adat dan budaya?”
Tentang penulis :
Wisran Hadi adalah sastrawan/budayawan
Indonesia yang lahir dan dibesarkan di ranah Minang, Sumatera Barat. Wisran pernah menulis kumpulan naskah drama berjudul Empat Orang
Melayu berisi empat naskah drama: ”Senandung Semenanjung”, ”Dara Jingga”, ”Gading
Cempaka”, dan ”Cindua Mato”. Novelnya yang pernah dibukukan antara lain
berjudul Tamu, Imam, Empat Sandiwara Orang Melayu, dan Simpang. Novel Persiden ini
termasuk dalam novel unggulan sayembara Dewan Kesenian Jakarta tahun 2010. Wisran
Hadi tutup usia pada bulan Juni 2011.
Referensi ;
No comments:
Post a Comment
Thank your for leaving comment. :)