Pages

Sunday, June 2, 2013

Persiden


Judul : Persiden
Penulis : Wisran Hadi
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun Terbit : 2013

Novel ini menceritakan kisah keluarga besar yang mempunyai rumah pusaka keluarga yang dikenal masyarakat sekitar dengan nama ‘rumah bagonjong’. Ayah Bung, Pa Tandang adalah anak laki-laki tertua. Ia mempunyai tiga saudara laki-laki dan satu saudara perempuan yaitu Pa Mieki, Pa Ragih, Pa Rarau dan Cik Inan.  Dalam kakak beradik jika saling silang pendapat mungkin biasa terjadi. Hubungan Pa Tandang dan adik-adiknya mengalami pasang surut terutama menyangkut soal rumah bagonjong, yang sertifikatnya digadaikan oleh Cik Inan tanpa memberitahu saudara laki-lakinya. Suami Cik Inan, Pa Lendo, sebagai semenda dinilai terlalu ikut campur urusan kakak beradik. Komunikasi di antara mereka terputus sampai-sampai tidak mau bertegur sapa.

Malati, anak perempuan Cik Inan, kembang desa Paratingga digosipkan hamil di luar nikah oleh guru mengajinya. Desas desus tersebut akhirnya sampai ke telinga Pa Tandang. Ia hanya mengetahui bahwa keponakannya dipindahkan sekolah ke Yogyakarta. Berita tersebut bagaikan petir di siang bolong. Malati telah mencoreng nama baik rumah bagonjong. Apalagi mamak-mamaknya bukan orang sembarangan. Cik Inan dan Pa Lendo tidak mau berterus terang mengenai Malati. Dari saudara jauh Pa Tandang diketahui bahwa Malati sudah menikah dan melahirkan anak, namun anak tersebut diasuh oleh Ibu dari suaminya. Malati dipisahkan dari suaminya dan baru boleh bertemu setelah lulus kuliah sementara suaminya masih melanjutkan kuliah.

Dari masalah Malati berkembang menjadi besar ke harta warisan, kewibawaan kaum, kepemimpinan suku, masa lalu rumah bagonjong dan hal-hal berbau mistis. Salah satu nenek dari rumah bagonjong ‘Sampiran’ mendatangi Pa Mikie secara gaib, ia berkata kondisi rumah bagojong sekarang akibat termakan sumpahnya dahulu. Konon Sampiran adalah saudara perempuan dari ibu mereka yang tidak diakui karena hamil di luar nikah dan dibuang dari ke daerah Lubuk. Suami dari Malati masih keturunan dari Sampiran. Artinya mereka masih satu suku. Pa Mikie mendesak Pa Tandang dan Pa Rarau untuk mencari anak Malati. Biar mereka yang mengasuhnya karena bagaimanapun anak Malati adalah penerus dari kaum mereka.   

Penulis menyebut ‘Bung’ seakan-akan sedang berkomunikasi dengan pembaca. Novel Persiden mengemukakan pergeseran nilai, silang pendapat kaum tua dan anak muda, kepatuhan pada adat dan kaitannya dengan dunia modern sekarang. Dalam adat istiadat Minang terdapat pepatah ‘Anak dipangku, Keponakan dibimbing’. Sistem matrilineal dalam minangkabau menurunkan suku dari keturunan garis ibu dan perempuan. Ketika masalah menimpa Malati, anak perempuan Cik Inan, menyeruak tidak hanya menjadi masalah orangtua nya saja. Pa Tandang, Pa Mieki, Pa Ragih, Pa Rarau sebagai mamak-mamak dari Malati juga mendapat sorotan. Bagaimana sih ninik mamak kok tidak tahu menahu kalau keponakannya sudah menikah? Apalagi kalau keadaan wanitanya sudah ‘berisi’ duluan.

Terlepas dari pencarian Malati, Suami Malati dan Anaknya, pokok ceritanya mempertanyakan sikap dan kedudukan ninik mamak dalam dunia yang sudah berubah dan berkembang. Seringkali dalam penyelesaian adat istiadat masing-masing pihak mementingkan ego masing-masing. Semisal tanah-tanah pusaka keluarga sudah dijual digantikan dengan perbelanjaan, ruko atau perumahan. Sehingga persoalan Malati ini lebih banyak dilihat dari sisi pemikiran mamak-mamaknya. Bagaimana perasaan Malati sendiri yang dipisahkan dari anaknya setelah melahirkan hanya sedikit disinggung.

Terkadang penulis tidak hanya menyoroti masalah yang melingkupi cerita keluarga rumah bagonjong, tetapi juga menyindir hal yang lain-lain yang membuat cerita jadi melebar. Saya juga menangkap sindiran halus dari penamaan tokoh-tokohnya.

Saat saya melihat buku ini yang terpikir adalah judulnya yang aneh. Seperti plesetan dari kata presiden. Lalu saya mengenali nama penulis, Wisran Hadi, yang merupakan sastrawan dari ranah Minang. Aha! Saya sudah lama ingin membaca karya beliau namun belum jodoh sama karya-karyanya. Covernya unik. Gambar rumah gadang yang didorong alat berat. Kiasan yang tepat untuk menyiratkan terjadinya pergeseran nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau di dalam cerita.

Setelah membaca novel ini tertinggal sebuah kalimat di dalam pikiran saya.

“Apa kau benar-benar mau jadi orang modern dengan meninggalkan segala yang ada dalàm adat dan budaya?”

Tentang penulis :

Wisran Hadi adalah sastrawan/budayawan Indonesia yang lahir dan dibesarkan di ranah Minang, Sumatera Barat. Wisran pernah menulis kumpulan naskah drama berjudul Empat Orang Melayu berisi empat naskah drama: ”Senandung Semenanjung”, ”Dara Jingga”, ”Gading Cempaka”, dan ”Cindua Mato”. Novelnya yang pernah dibukukan antara lain berjudul Tamu, Imam, Empat Sandiwara Orang Melayu, dan Simpang. Novel Persiden ini termasuk dalam novel unggulan sayembara Dewan Kesenian Jakarta tahun 2010. Wisran Hadi tutup usia pada bulan Juni 2011.


Referensi ; 

No comments:

Post a Comment

Thank your for leaving comment. :)