Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
My rating: 3 of 5 stars
Si Aku adalah seorang hakim tua bekerja di sebuah kota perbatasan. Tahun-tahun ia bertugas mengurusi perkara yang sepele. Namun situasi kerajaan semakin tegang dalam menghadapi penduduk asli yang disebut kaum barbar. Desas- desus yang berkembang kaum barbar akan bersatu untuk menyerang kerajaan. Posisi kota di perbatasan semakin terancam. Serangan kaum barbar terjadi dua puluh mil dari pusat kota mengakibatkan perubahan bagi penduduk. Pasukan kerajaan menangkap seorang lelaki dan anak kecil yang dicurigai kaum barbar dan membawanya ke kota. Hakim tidak menyukai cara interogasi yang dilakukan Kolonel Joll yang menyebabkan kematian. Tak lama kemudian, pasukan tersebut membawa orang-orang yang lebih banyak. Mereka dipaksa menunjukkan dimana keberadaan kaum barbar. Hakim membawa seorang gadis muda dari kumpulan orang-orang tersebut ke apartemennya. Tindakan hakim tersebut dinilai memalukan karena ‘memungut’ gadis dari kaum barbar dan menjadikannya teman tidur.
Hakim berniat mengembalikan gadis tersebut kembali ke kaumnya. Kaum barbar hidup nomaden. Rombongan hakim menempuh perjalanan jauh di ujung musim dingin. Sekembalinya ke kota, pasukan militer sudah menguasai kota. Hakim tersebut ditangkap dengan tuduhan menjalin kontak dengan kaum barbar yang merupakan musuh dari kerajaan. Posisinya sebagai hakim dilucuti.
Ketika pasukan berhasil menangkap sekelompok kecil kaum barbar, laki-laki bar-bar ditelanjangi dan diarak ke alun-alun kota. Penyiksaan dilakukan di depan umum tanpa melihat ada anak kecil yang menonton. Satu-satunya suara yang menentang adegan penyiksaan tersebut yaitu si hakim. Propaganda tentang keberingasan kaum barbar berhasil membuat keresahan pada masyarakat. Tanaman gandum yang rusak dicurigai disebabkan oleh ulah kaum barbar. Masyarakat menggantungkan harapannya kepada pasukan keamanan.
‘Jeritan Hati Nurani : Dilema Kehidupan Sang Hakim’ adalah terjemahan dari ‘Waiting for the Barbarians’. Judul terjemahannya mengacu pada suara hati dari si hakim. Cerita yang menyentil kehidupan apartheid di Afrika Selatan. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1980 yang saat itu Apartheid masih berlangsung. Suara hakim menunjukkan suara minor dari golongannya yang mayoritas tidak masalah terhadap tindakan biadab tersebut. Mengapa sebagai bangsa yang beradab malah melakukan tindakan yang biadab terhadap penduduk asli? Pengalaman membaca buku ini mengenalkan bagaimana rupa dari apartheid itu karena gambaran awal saya apartheid itu seperti diskriminasi rasial di Amerika Serikat. ‘Waiting for the Barbarian’ termasuk dalam great books of the 20th century yang diterbitkan oleh Penguin Books.
Tentang Penulis : J.M Coetzee.
John Maxwell Coetzee
atau J.M Coetzee merupakan sastrawan kelahiran Cape Town. Afrika Selatan. Ia
menerima nobel sastra pada tahun 2003. Penulis Afrika Selatan yang kedua
mendapatkan nobel sastra setelah Nadine Gordimer. Karyanya yang berjudul
‘Life & Times of Michael K’ dan ‘Disgrace’ mendapatkan penghargaan Man
Booker Prize. Kedua buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia ‘Kisah Hidup Michael K’ (Jalasutra, 2003) dan ‘Aib’ (Jalasutra,
2005). Sejak tahun 2006, J.M Coetzee menjadi warga Negara Australia dan
tinggal di Adelaide.
wah, review kedua tentang JM Coetzee...kaum barbar ini maksudnya kaum kulit hitam kah? serem ngebayangin adegan penyiksaannya...
ReplyDeleteiya,,merujuk pada suku asli yang nomaden
DeleteJadi Sang Hakim ini warga kulit putih yg mewakili suara warga kulit hitam ya?
ReplyDeletedia menentang penyiksaan yang dilakukan pasukan militer kepada kaum barbar yang tertangkap.
Deletekayaknya beliau ini temenan sama Nelson Mandela yah?
ReplyDeletekurang tahu juga deh Bang Epi,hehehe. tapi Nelson Mandela memberikan selamat waktu JM Coetzee dapat nobel sastra ^^
DeleteSekali lagi nemu Historical Fiction. mau mau mau
ReplyDeleteBuku dengan setting Africa, jarang-jarang baca nih.
Untuk mengenal sastra benua Afrika,buku ini termasuk mewakili. jarang2 juga siy aku baca buku setting Afrika :)
DeleteIni terjemahannya enak dibaca ga? Baru coba baca terjemahannya Disgraze dan agak kapok krn terjemahannya.
ReplyDeleteSama kayak teh annisa : terjemahannya enak dibaca kah?
ReplyDeletekayaknya kalo obor agak lumayan bagus terjemahannya. Ini review kedua JM Coetze yang kubaca, dan dua-duanya sama-sama ada unsur "tidur" dengan cewek. ahahha *salahfokus*
ReplyDeletehahaha,,iya ada tapi engga terlalu vulgar siy. cuman aku tetap aja risih baca adegan begituan,hehe
Delete@ mbak annisa & mbak dewi : sepakat sama ana, terjemahannya obor lumayan bagus :)
ReplyDelete