Selimut Debu by Agustinus Wibowo
My rating: 5 of 5 stars
Tragedi menara kembar World Trade Center 11 september 2011 membuat negara Afghanistan menjadi bulan-bulanan Amerika. Karena pemerintahan taliban melindungi pimpinan Al-Qaeda,most wanted person of the world-orang yang diduga bertanggung jawab atas peristiwa WTC,Osama bin Laden. Sejak ribuan tahun lalu,Afghanistan tidak pernah sepi dari pertikaian dengan orang asing atau sesamanya sendiri.
Afghanistan yang terletak di asia tengah memiliki alam yang keras. Padang gersang dan berdebu. Entah apa yang ada di pikiran Agustinus Wibowo sehingga membulatkan tekadnya ke Afghanistan. Negara yang berbahaya,jangankan untuk orang asing bagi rakyatnya saja tidak aman. Setiap waktu mengintai ancaman perampokan,penculikan,ranjau darat, dan bom bunuh diri. Harga nyawa manusia disana lebih murah dibandingkan harga keledai.
Perjalanannya keliling Afghanistan ini mengulas kondisi Afghanistan dari kota besar seperti Kabul hingga pelosok-pelosok perbatasan Afghanistan. Mayoritas rakyat Afghanistan berasal dari etnis Pashtun. Disamping itu masih ada etnis minoritas lainnya seperti Tajik,Uzbek dan Hazara. Kesukuan sangat lekat dan satu sama lain saling mencurigai. Karena Agustinus memiliki ciri-ciri wajah yang mirip etnis Hazara,sehingga tak jarang mendapat diskriminasi karena dianggap orang Hazara.
Mungkin orang luar menganggap burqa sebagai sebuah 'penjara' bagi kaum perempuan. Sementara bagi perempuan Afghanistan terutama Pashtun,hal tersebut adalah budaya. Hingga etnis minoritas pun mau tak mau mengikuti memakai burqa karena taliban mewajibkannya. Mahar untuk perkawinan sangat mahal. Sehingga banyak yang memilih tidak menikah. Satu hal yang mengejutkan saya adalah budaya Pashtun yang menyukai berhubungan seks dengan bocah lelaki yang disebut Bachabazi. Astaghfirullah. Bagaimana mungkin perilaku seks menyimpang dianggap sebuah adat yang lumrah. Sekalipun sudah mempunyai istri kebiasaan 'play with boy' masih sukar ditinggalkan. Agustinus sendiri 'hampir' diperkosa oleh laki-laki.
Keberadaan lembaga donor internasional pasca jatuhnya Taliban menjamur di Afghanistan. Relawan asing yang datang bertujuan mulia untuk membantu Afghanistan bangkit dari keterpurukan sisa perang. Sayangnya dari sekian juta dollar,entah berapa yang benar-benar dirasakan manfaatnya bagi rakyat. Rakyat Afghanistan tetap miskin. Pekerjaan tak ada,harga kebutuhan mahal, krisis air bersih. Sementara ekspatriat digaji ribuan dollar,kompensasi yang dirasa tepat mengingat risiko mereka di Afghanistan. Jika untuk gaji staff dan security sudah habis sekian banyak,tinggal berapa sisa budget untuk program yang benar-benar ditujukan untuk rakyat Afghanistan?.
Hidup yang keras di Afghanistan membuat sebagian besar rakyatnya mencari negeri impian. Iran dan Pakistan,dua negara tetangga yang menampung pengungsian dari Afghanistan. Semakin banyak jumlah pengungsi membuat masalah baru bagi keduanya sehingga pasca jatuhnya pemerintahan Taliban, pengungsi Afghanistan dipulangkan ke kampung halaman mereka. Indonesia sendiri seringkali disinggahi oleh Immigran gelap Afghanistan yang menuju Australia.
Dari foto-foto yang diselipkan di tengah buku,perhatian saya terhenti di gambar kamera model kuno masih dipakai. Agustinus merekam kehidupan rakyat Afghanistan dari keramahan, kegetiran, ketakutan dan mimpi-mimpi mereka. Walaupun pengalamannya tak melulu beruntung,ditinggal pergi sopir truck, dirayu dokter hingga babak belur dipukul polisi. Agustinus benar ada satu sisi yang tak bisa ia masuki kecuali di daerah Wakhan yaitu sisi perempuan yang tertutup oleh Burqa. Cerita dari Lam Li cukup melengkapi bagian yang terasa 'bolong' bagi saya yaitu bagaimana kehidupan wanita Afghanistan di balik burqanya.
View all my reviews
Melihat betapa kerasanya diskriminasi terhadap wanita di timur tengah sana, saya selalu bersyukur di Indonesia isu gender sudah tidak terlalu dipermasalahkan~ :D
ReplyDeleteBetul,,makin bersyukur hidup di Indonesia :)
Deletepenggeeeeennnn baaacccaaa.... *ga tahu kapan*
ReplyDeletehayukk baca bukunya ^^
Delete