Pages

Thursday, October 22, 2009

Moga Disayang Bunda

Moga Bunda Disayang Allah Moga Bunda Disayang Allah by Tere Liye


My rating: 5 of 5 stars
Apa yang kau rasakan ketika terjaga dari tidur mendapati keadaan sekitar hitam kelam dan sunyi? Tak ada cahaya. Dan tak ada suara. Panik? Takut? Jengkel? Sesak? Atau marah? Bagi Melati, gadis kecil berusia 6 tahun, dia telah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Sepanjang waktu yang dia jumpai hanya hitam, kosong dan sunyi. Hati ibu mana yang tak sedih melihat anak semata wayang mereka, buta, tuli, dan bisu.

Bunda tak putus-putusnya berdoa dan berusaha. Dokter-dokter ahli telah didatangkan dari ibukota dan luar negeri. Bukannya lebih baik, Melati menggigit jari salah seorang dokter nyaris putus. Melati memang tidak mudah untuk didekati. Ia tidak suka dipegang, karena ia bisa berang, meronta, dan mengamuk. Bunda tak putus-putusnya berdoa dan berusaha. Walau Melati mustahil untuk bisa mendengar atau melihat, Bunda berharap setidaknya Melati bisa mengenal Ayah, Bunda,dan Sang Pencipta. Bunda mempercayai firman-Nya : dibalik setiap kesulitan terdapat suatu kemudahan. 3 tahun telah berlalu, Bunda sabar menunggu datang keajaiban untuk putri kecil. Ia telah sampai pada titik asa.

Ada satu harapan yang bisa menolong Melati. Seorang pemuda yang mampu membaca perasaan dan pikiran anak-anak. Karang namanya. Namun, Karang sendiri butuh bantuan untuk berdamai dengan masa lalunya. Ia berubah dari idola anak-anak menjadi pemabuk dan ’makhluk kalong’ tak mempedulikan kehidupannya. Berantakan. Bau. Aroma alkohol bagaikan parfum tubuhnya. Penampakannya seram, rambut gondrong tak terurus dan mukanya brewokan. Hanya matanya sesekali menyiratkan keteduhan, itupun kalau tidak sedang mabuk. Transformasi Karang berakar pada kecelakaan tragis, tiga tahun lalu. Saat Melati jatuh terduduk tepat dengan terbaliknya perahu nelayan yang membawa Karang dan anak-anak taman bacaanya berwisata air. Dua belas anak. Delapan belas tidak. Kehilangan yang sungguh besar, saat Karang menyaksikan Qintan menghembuskan nafas terakhir. Bukan orang lain yang menyalahkan Karang karena telah lalai mengenai keselamatan orang lain. Tak ada yang lebih pedih, jika dirinya sendiri yang memvonis bersalah.

Terlepas dari sosok Karang yang pemabuk dan ’menyeramkan’. Bunda menaruh harapan Karang bisa menolong melati. Bunda tak gentar akan penolakan dan kekasaran Karang. Demi putri semata wayangnya. Karang bisa merasakan apa yang dirasakan Melati, walau ia tidak buta dan bisa mendengar. Sepi. Kosong. Ia memutuskan untuk menolong Melati, untuk mewujudkan janji yang lebih baik untuk gadis cilik berambut ikal ini.

Dunia Melati terbiasa dengan gelap dan sunyi. Ia tidak bisa mengetahui bedanya sendok dan garpu. Ia tidak mendengar rinai hujan bahkan petir sekalipun. Ia tidak pernah dengar ketika Bundanya memanggil ”sayang”. Aturan yang utama: jangan memegang Melati. Ia tak suka disentuh. Apabila seseorang lupa aturan tersebut, ia akan meronta, marah, dan berteriak marah, namun hanya sengau yang terlontar, ”BAA...MAAA”. tangan kecilnya akan menjangkau apa saja yang didekatnya. PRANG..Pecahlah sudah.

Perlu waktu seminggu untuk Melati menggunakan Sendok-Garpu. Itupun dilalui dengan tiga hari tidak makan. Merajuk. Dan berang seperti biasa. Perlu waktu seminggu lagi untuk Melati agar mengenal kursi dan duduk manis diatasnya. Prosesnya untuk mengenal amat berjalan lambat. Karang pun harus mencari cara, kunci yang tepat untuk Melati mengenal dunia. Pelajaran ketiga, tembikar. Sebelumnya, Melati suka sekali melempar keramik Ayahnya, mana ia tahu kalau harganya mahal atau bentuknya indah. Karang ingin mengajarkan tembikar ini bukan benda-untuk-dilempar. Setiap celengan ayam yang diberikan kepada Melati hanya berakhir di Sapu Ijuk dan Pengki Salamah, pembantu keluarga. Karang harus berlomba dengan waktu. Waktunya semakin singkat karena kepulangan Tuan HK, Ayah Melati, dari Jerman semakin dekat. Tuan HK telah mengusir Karang di hari keberangkatannya karena berani minum alkohol dirumahnya. Jadi, Tuan HK tidak tahu kalau Karang masih berada di rumahnya, masih mengajari Melati.

Karang pusing berusaha menemukan ’kunci’ komunikasi Melati. Disaat Melati tertidur, Karang mulai membuka hatinya, menceritakan Qintan, tarian Aurora. Karang kembali mendongeng biarpun Melati tidak mendengarnya. Ia mencium rambut Melati. Dengan sejuta voltase ,ia bisa merasakan. Sempurna. Karang bisa berpikir, melihat, mendengar, merasakan persis seperti Melati rasakan sekarang. Dia bisa melihat gelap itu. Dia menatap kosong. Hitam. Seperti berdiri sendirian di ruangan yang gelap total. Sebal. Mengkal. Frustasi dan kerinduan. Gadis kecil ini rindu. Rindu mengenal siapa saja. Ayah.Ibu.Teman. Bahkan ia rindu mengenal-Mu.

Time is out. Tuan HK pulang lebih cepat dari yang diketahui. Niat hati ingin membuat surprise keluarganya, justru dirinya yang terkejut. Anak muda itu masih berada di rumahnya, masih bersantap pagi di meja makannya! Tuan HK marah. Situasi di meja makan tegang. Semburan marah Tuan HK membuatnya tak memperhatikan perkembangan Melati. Melati telah makan dengan sendok-garpu dan tak mengacak-ngacak makanan seperti dulu. Tanpa disadari orang-orang, Melati melangkah keluar menuju taman. Ia disambut butir-butir air yang menyentuh lembut kulitnya. Dingin. Menyenangkan. Untuk pertama kalinya, ia tersenyum. Sementara seisi rumah sudah panik mencari gadis itu.

Melati sudah didekat air mancur membuatnya basah terciprat air. Ia basah kuyup. Tapi ia tak peduli, ia tertawa riang. Bunda ingin menggendongnya ke dalam rumah, Melati bisa sakit. Karang melarangnya. Kejutan sejuta voltase kembali menghampirinya. Ia bisa merasakannya. Gelap itu mendadak berubah menjadi tarian sejuta aurora. Gadis cilik itu tergugu. Ia tidak pernah melihat cahaya. c-a-h-a-y-a. Tuhan memberikan keajaibannya. Telapak tangan Melati lah kuncinya. Syaraf-syaraf permukaan telapak tangan menjadi lebih sensitif, mata-telinga-mulut Melati.
“Baa…aa..aa” Melati bertanya.
“A-i-r” Karang gemetar menuliskan huruf-huruf itu di telapak tangan Melati
”Baa..a..aa”Melati mengerung pelan
Karang mendekatkan telapak tangan Melati ke mulutnya..ia berkata sekali lagi ”a-i-r”
Melati tersenyum riang. Rasa frustasi yang mengungkungnya sirna. Ia mengerti. Ia tahu. Inilah nama benda yang dingin dan menyenangkan: air.

Dengan cepat..ia belajar mengenali Ayah, Bunda, ’Pak Guru’ Karang. Tak putus-putusnya ia bertanya kepada Karang. Ia belajar sangat cepat..Mengenali dunia yang tak sehitam dan sekosong dulu.

Kisah Melati terinspirasi oleh Hellen Keller. Ia buta dan tuli. Keterbatasan fisik tidak menghalanginya menjadi aktivis dunia. Ia justru mampu melakukan banyak hal dibandingkan orang ’normal’ yang bisa melihat dan mendengar. Dia menunjukkan keterbatasan fisik bukan berarti keterbatasan akal-pikiran. Saya mengenal Hellen Keller dari quotenya: ”the best and most beautiful things in the world cannot be seen or even touched. They must be felt with the heart”.

View all my reviews >>

No comments:

Post a Comment

Thank your for leaving comment. :)