Pages

Friday, May 15, 2009

Bumi Manusia

Sebenarnya sudah dari SMA saya mengetahui novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Jangan Tanya kenapa baru SMA tahu Pram, ya tahu sendiri lah namanya memang tidak pernah disebut dipelajaran sekolah, kalaupun pernah sambil lalu saja. Uus, seringkali membawa tetralogi pulau Buru. Yang ketika itu saya hanyalah siswa yang doyan baca teenlit, komik atau R.L Srine dan mulai menyukai Agatha Christie. Buku yang tebal, pikir saya waktu itu. Saya mengalami evolusi bacaan. Setelah mahasiswa, saya baru saya mulai membaca sastra dunia. Buku-buku yang saya pinjam dari perpustakaan pusat rata-rata memang bergenre sastra. Dua minggu sekali saya sempatkan datang pinjam buku ke perpustakaan pusat, sampai saya sudah hafal rak-rak buku yang disusun berdasarkan dewey.

Angin segar reformasi membuka lagi buku-buku yang sempat dilarang beredar oleh Jaksa Agung. Buku-buku Pramoedya Ananta Toer kembali dicetak. Baru kemarin, 26 November 2008, saya membaca Bumi Manusia. Saya memang memulai membaca karya Pram yang dari tipis-tipis, seperti Larasati, Gadis Perawan di Tangsi Militer. Saya sungguh keheranan. Kenapa buku ini dilarang beredar? Pram dituduh mempropagandakan marxisme-leninisme, komunis, apalah namanya. Orang tua dengan keras melarang anak-anaknya membaca buku-buku Pram (contoh kasus teman saya). Setelah saya baca..saya tidak menemukan paham-paham yang terselubung yang dibenamkan dalam cerita. Saya tak menyesal juga membaca buku ini belakangan, ketinggalan bacaan. Karena buku-buku yang telah saya membaca sebelumnya serasa melengkapi alur cerita si Minke di benak saya.

Apa yang dituturkan oleh Pram melalui Bumi Manusia menggambarkan kondisi sosial budaya Hindia Belanda ketika awal 1900-an. Dimana masa-masa terjadinya perbedaan kelas antara eropa totok, Indo, Tiongkok, dan Pribumi. Tentu saja yang menjadi kelas terbawah adalah pribumi. Dalam Dutch Culture Overseas, Frances Gouda mengibaratkan pribumi sama dengan monyet. Itulah persepsi penjajah memandang yang terjajah ketika itu. Minke, si tokoh utama ini, segelintir pribumi yang beruntung dididik di sekolah Eropa, namanya yang diberikan oleh guru Belandanya ialah plesetan dari monkey, monyet! Dari satu dialog ditegaskan lebih jelas persepsi tersebut, ketika Minke bertandang ke rumah keluarga Mellemma. Tuan Mellemma, menghina Minke, biar kau berbicara bahasa belanda..biar kau berpendidikan eropa..berpakaian ala eropa. kau tetap saja seorang Inlander! Monyet!

Muncullah tokoh yang begitu kuat yaitu Nyai Ontosoroh. Ia dijual sendiri oleh Ayahnya ke Tuan Mellema sewaktu usianya 13 tahun. Nyai adalah sebutan wanita simpanan pria-pria Belanda. Tidak ada perkawinan yang sah. Nyai digambarkan seorang wanita tuna susila yang menjual harga dirinya demi mendapatkan kemewahan dari Tuannya. Nyai-nyai inilah yang melahirkan Indo, blasteran Belanda-pribumi(sebutan masa kini). Nasib Indo walaupun setingkat di atas pribumi tapi tak pernah diakui sebagai Eropa totok. Beruntung jika Ayah mereka, Belanda aseli, mengakui mereka sebagai anaknya, statusnya naik tingkat mendapat kewarganegaraan Belanda. Keluarga Mellema mempunyai dua anak, Robert Mellema dan Annelies Mellema. Si sulung meremehkan pribumi dengan congkak mengikuti tabiat Ayahnya yang memang merendahkan pribumi. Sebaliknya, Anne menganggap dirinya pribumi. Satu anak papa. Satu anak mama. Frances Gouda, juga menyinggung masalah ini di Dutch Culture Overseas, terdapat keambiguan identitas bagi peranakan Indo. Tidak bisa disebut pribumi tapi bukan eropa totok pula.

Nyai Ontosoroh bukan sembarang Nyai. Betul ia pribumi. tapi tutur katanya mengalahkan wanita Eropa. Tak kalah inteleknya. Berkat Nyai perusahaan boerderij buitenzorg menjadi besar. Ia diajari oleh Tuan Mellema berbagai ilmu, baca tulis, ilmu hitung. Lama kelamaan, ia yang menangani kegiatan perusahaan, bernegoisasi dengan orang-orang Eropa. Sayangnya, walaupun hidupnya dikelilingi kemewahan Eropa, kehidupannya tidak seperti bayangan masyarakat. Jika Nyai layaknya selir yang tunduk dengan tuan, justru sebaliknya lelaki siapa saja menaruh hormat dengan pembawaannya. Ia tak punya teman apalagi sahabat. Begitupun juga anak-anaknya yang ruang gerak sebatas lingkungan ‘istana’ mereka, mengendalikan perusahaan dari kantor.

Kedatangan Minke sebenarnya usaha dari Robert Suurhof, teman Minke, untuk memperolok Minke yang sengaja diperkenalkan kepada Annelies yang kecantikannya melebihi Ratu Wilhemina. Robert mengira Minke yang pribumi tidak akan bisa menggapai cinta Anne. Ya, Kecantikan yang sempurna. Lihat saja peranakan Indo sekarang, cantik-cantik dan tampan-tampan bukan, penguasa jagat hiburan melalui paras mereka. Annelies memang manja dan kekanak-kanakan tapi dihadapan pekerja boerderij buitenzorg, ia seorang pengawas, mandor dan dipersiapkan untuk meneruskan kegiatan perusahaan. Sebagai seorang anak, ia kesepian, telah lima tahun semenjak ibunya menjemput paksa dari sekolah dan tidak pernah lagi bersekolah. Anne tidak mempermasalahkan status pribumi Minke. Mereka saling jatuh cinta,justru akhirnya Anne yang ‘cinta mati’ terhadap Minke. Sayang, kisah mereka tidak seperti Cinderella yang berbahagia selamanya.

Ada dua hal yang menarik perhatian saya;

Pertama, Pram secara gamblang menuliskan kritiknya terhadap feodalisme Jawa. Minke bisa dikatakan anak priyayi, Ayahnya baru saja diangkat menjadi Bupati. Keturunan Raja adalah priyayi. Seorang yang bergelar tinggi pun bisa dikatakan priyayi. Minke yang berpendidikan Eropa dan terbiasa bergaul dengan orang Eropa, modern istilahnya, mungkin kesal dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional. Contohnya ketika ia menghadap Ayahnya diharuskan merangkak-rangkak.

Kedua, ilmu pengetahuan Eropa yang diagung-agungkan oleh Minke runtuh ketika ia dan Nyai Ontosoroh berhadapan dengan pengadilan putih, pengadilan kolonial yang semuanya orang kulit putih. Tuan Mellema selama lima tahun lebih banyak menghabiskan waktu entah dimana. Baru diketahui, Tuan Mellema ini tinggal di rumah plesiran dari Babah A Tjong. Rumahnya masih dikatakan bertetangga. Mengingat pulau Jawa dulu tidak sepadat sekarang, biar berdekatan tetap aja jauh. Nah, Rumah bordil yang menawarkan berbagai gadis dari ras berbeda-beda akan membuat lelaki lupa rumah dan lupa istri. Tuan mellema ditemukan tewas diracun di Rumah Babah A Tjong.

Nyai Ontosoroh telah menabung jikalau Tuan Besar akan kembali ke Nederland dan mencampakkan dia. Justru lewat tangan dinginnya lah, perusahaan menjadi besar. Masalahnya, pasca kematian Tuan Mellema, pengadilan memutuskan seluruh harta peninggalan perusahaan Tuan Mellema akan jatuh pada istrinya yang sah yang tinggal di Amsterdam. Hak asuh Annelies jatuh kepada kakak tirinya, Ir Mellema. Pengadilan putih tidak memperdulikan Nyai Ontosoroh, hanya seorang Nyai, Istri Simpanan, perkawinan tidak sah. Sebelumnya Minke telah menikah secara Islam dengan Anne. Pengadilan putih menggugurkan status ‘Mevrouw’ Anne, ia masih anak-anak ‘Juffrouw’. Tarik-tarikan kepentingan antara Nyai Ontosoroh dengan pengadilan putih mendapatkan dukungan yang luas. Minke menuliskan kisahnya di harian yang berbahasa Belanda, dengan nama pena, Max Toonelar. Ia mengungkit ketidakadilan yang menimpa dirinya dan mertuanya. Tapi keadilan yang didengungkan pendidikan Belanda tidak berpihak kepada mereka yang pribumi, Inlander. Rumah mereka dikepung pasukan kolonial yang terpilih dan Anne dijemput paksa untuk dipulangkan ke Nederland.

Dalam Dutch Culture Overseas dikatakan kolonialisme Belanda berbeda dengan kolonialisme Inggris dan Prancis, Belanda berusaha memahami kebudayaan pribumi. Feodalisme Jawa dimanfaatkan oleh Belanda untuk menancapkan kekuasaannya. Musti hormat kepada penguasa, yang notabene adalah penjajah. Pram juga mengulas kegigihan rakyat Aceh yang berjuang melawan pasukan kompeni; lelaki, kakek nenek, wanita, hingga anak-anak kecil. Dengan gema takbir, mereka tak takut mati melawan senapan dan meriam Belanda. Sementara bagi orang Jawa, pekerjaan sebagai abdi pemerintah, dalam hal ini kolonial merupakan pekerjaan yang hebat. Belanda hanya ’berkawan’ dengan kaum ningrat. Tak heran hanya keturunan priyayi yang beruntung mengecap pendidikan Eropa.

Berkaitan dengan Minke, ia pun diharapkan menjadi Bupati, seperti Ayahnya. Namun Minke menolaknya. Yang ia inginkan hanyalah sebagai manusia bebas. Manusia yang bergerak sesuai pilihan diri sendirinya di Bumi Manusia. Amat disayangkan, pergaulan Minke masih saya katakan, eksklusif. Dipandang dari segi orang Eropa, ia hanyalah pribumi. Tapi dengan pribumi pun, ia engga gaul.

-fin-

No comments:

Post a Comment

Thank your for leaving comment. :)