Pages

Friday, September 17, 2010

Tsotsi




Afrika Selatan adalah salah satu Negara Afrika yang dari segi ekonomi lebih baik dibandingkan Negara-negara afrika lainnya. Namun sejarah mencatat, perjalanan negeri ini memperjuangkan persamaan hak dari politik apartheid menarik perhatian. Penduduk asli benua Afrika adalah ras negroid, berkulit hitam. Secara de jure, yang berkuasa dan mendapat perlakuan istimewa adalah penduduk kulit putih. Diskriminasi yang juga terjadi tak hanya di Afrika Selatan tetapi juga di Amerika Serikat.

Perumahan kulit hitam digusur untuk dibangun perumahan kulit putih. Warga kulit hitam hanya diperkenankan menjadi pembantu warga kulit putih. Setiap warga kulit hitam wajib memiliki buku izin yang harus ditandatangani majikan sebelumnya. Polisi sangat suka melakukan pemeriksaan buku izin dan jika buku izin tersebut tak ada, ditahan di penjara. Anak-anak menjadi pemulung dan terpisah dari orang tua mereka yang ditahan polisi. Mereka tak tahu mencari kemana perginya ibu dan ayahnya.

Kemiskinan yang ada membuat tingkat kriminalitas menjadi-jadi. Nyawa begitu murah, demi sekeping shilling, penny atau tickey, pencuri tidak hanya mengintai tapi jari-jari roda siap ditusukkan tepat di jantung. Senjata yang mematikan. Empat pemuda membentuk geng mereka sendiri, Tsotsi, Jagal, Die app, dan Boston. Tsotsi adalah pemimpin geng ini, dialah yang memutuskan korban berikutnya. Jagal adalah eksekutor jari-jari roda. Die app yang berbadan besar. Dan Boston si pintar namun pengecut. Mereka mengintai korban dari tempat-tempat ramai ; terminal dan stasiun. Sasaran empuknya adalah pekerja tambang yang hendak pulang ke rumah.

Tsotsi sendiri sudah tidak ingat asal usulnya dan tak mau mencari tahu . Nama tsotsi sendiri berarti penjahat. Boston yang suka berbicara banyak malah bertanya; siapa kamu tsotsi sebenarnya? Dari mana ia? Tapi yang paling mengusik tsotsi adalah pertanyaan tentang batin, apakah ada sesuatu yang membuatmu merasakan itu, perasaan beradab? Boston langsung mengarahkan pertanyaannya ke batin Tsotsi, sisi kehidupan yang jarang dikunjungi. Bosnton telah melakukan kesalahan karena telah bertanya. Tsotsi tak suka itu. Boston pun dihajar habis-habisan oleh tangannya sendiri. Itu akan terjadi akan terjadi akan terjadi suatu hari. Semoga Tuhan menolongmu hari itu, suatu hari, hari itu, suatu hari. Ucapan Boston yang babak belur dan nyaris sekarat.

Tsotsi berlari karena dengung ucapan Boston menggema di gendang telinganya. Ia bersandar di pepohonan kayu putih. Berpikir tentang apa yang dimaksud oleh temannya. Seorang wanita tergesa-gesa berjalan ke arahnya sambil memeluk erat kotak sepatu. Tsotsi melihat korban barunya, segera saja ia menyudutkan wanita tersebut ke pohon, menempelnya dengan ketat. Tangisan kecil dari kotak sepatulah yang menyelamatkan wanita tersebut dari pemerkosaan. Ia menyerahkan kotak sepatu ke tsotsi dan berlari meninggalkan tsotsi yang masih bingung dengan kotak sepatu tersebut. Ia menyingkap kain pembungkus yang bau dan disana terdapat dua mata kecil dan tangan mungil yang menggeliat-geliat, seorang bayi. Ingatan tentang seekor anjing betina bewarna kuning entah darimana tiba-tiba melintas di benaknya. Ia tahu ingatan tersebut berasal dari masa lalunya. Masih samar-samar dan kembali menghilang. Ia bisa saja membiarkan bayi itu ditinggalkan di pepohonan kayu putih, tapi yang dilakukannya adalah membawa pulang ke kamarnya.

Seorang ’sampah masyarakat’ mana tahu cara mengurus bayi, yang ia paham bagaimana menaklukkan korbannya dan menghabiskan uangnya di sheeben- tempat arak ilegal. Ia yang terbiasa menggunakan pisau lipatnya yang tajam untuk membunuh terketuk pintu hatinya melihat si bayi. Ketukan nurani itu masih lemah. Ia sendiri tidak tahu apa itu yang ia rasakan. Yang selama hidupnya hanya diliputi kegelapan batin. Ia tidak pernah merasa iba pada korban-korban. Tapi si bayi mungil..ya..hanya seorang bayi..memberikan setitik cahaya kecil di batin gelapnya.

Demi si bayi ia sengaja berjalan jauh dari rumahnya untuk membeli suusu dari toko India. Susu kental. Ia suapkan ke mulut rakus kecil ini. Ia ganti kain pembungkus bayi yang telah bau dan berwarna kuning dengan kemejanya.

Kehidupan Tsotsi pun bergulir kembali tanpa memberitahu teman-temannya. Tsotsi, jagal dan Die App kembali beraksi menyelusup kedalam keramaian terminal. Mereka berpencar. Tsotsi telah menjatuhkan pilihannya ke seorang pengemis jelek, kakinya sudah buntung, dan ia jelek sekali, Morris Tshabalala. Seharian Tsotsi mengikutinya dan Morris tahu ia diintai. Morris berhasil menempatkan dirinya di keramaian. Hingga di penghujung malam, ia terkejut, Tsotsi masih mengikutinya. Morris menggoyangkan dompet kain recehnya..cring..cring..dan ia letakkan di dekat tiang lampu. Seakan –akan memberikan kode morse, Ambillah uangku..jika itu yang kau mau..Tsotsi malah menendang tumpukan uang tersebut dan mengejar si Morris yang bergerak lamban. ”aku ingin hidup”, ujar Morris. ”Kau tahu itu?”. ”iya” jawab, tsotsi. ”tidak kau tidak pernah tahu”. Untuk pertama kalinya tsotsi melepaskan targetnya karena sesuatu perasaan yang disebut simpati.

Bayi dan pengemis membuat batin Tsotsi bertanya-tanya..sesuatu ini bernama apa? Ia tidak tahu. Cahaya-cahaya masa lalu kembali datang silih berganti. Ingatan masa kecilnya yang terputus. Tsotsi sama seperti manusia lainnya mempunyai Ibu. Suatu malam ketika ia masih bernama David berada di dekapan Ibunya, menanti dengan harapan Ayahnya akan kembali. Tepat tengah malam berbunyi sirene yang mengharuskan mereka melarikan diri, penggerebekan polisi. Ibunya ditahan, David terpisah. Semenjak itu ia berkumpul dengan anak-anak yang bernasib sama dan menjadi pemulung. Masa kecil Tsotsi ini menggambarkan bagaimana tindakan politik apartheid yang nyata. Anak sepuluh tahun yang terpisahkan dari keluarga harus belajar untuk mempertahankan hidupnya di jalanan. Tsotsi tidak pernah bertemu Ibunya lagi.

Tsotsi meninggalkan bayi kecilnya, ia menganggap bayi tersebut itu miliknya-ia yang menemukannya, di reruntuhan. Bayi tersebut nyaris sekarat. Tsotsi menghadang seorang wanita untuk menyusui bayinya. Pada awalnya, wanita itu menolak tapi melihat sang bayi, pintu hatinya terketuk. Tsotsi masih saja meninggalkan bayi di reruntuhan, ia tak menyadari tindakannya bisa membahayakan nyawa si bayi. Hingga suatu pagi, ia terbangun oleh bunyi raungan mesin penghancur yang ingin meratakan reruntuhan. Ia berlari..berlari kencang..detik waktu sangat berharga..dan akhirnya memberikan senyuman bagi Tsotsi. Berhasilkan ia?

No comments:

Post a Comment

Thank your for leaving comment. :)